Senin, 19 Desember 2011

Paragraf Generalisasi, Analogi, dan Hubungan Kausal (Sebab-Akibat)

Generalisasi adalah pola pengembangan sebuah paragraf yang dibentuk melalui penarikan sebuah gagasan atau simpulan umum berdasarkan perihal atau kejadian.
Contoh :
1. Bensin merupakan jenis bahan bakar apabila terkena api akan mudah terbakar. Demikian juga minyak tanah, termasuk bahan bakar yang mudah terbakar. Solar pun demikian pula halnya, bila terkena api akan mudah terbakar. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa semua jenis bahan bakar apabila terkena api akan mudah terbakar.
2. Dua anak kecil ditemukan tewas dipingir jalan Jenderal Sudirman. Seminggu kemudian seorang anak wanita hilang ketika pulang dari sekolah. Sehari kemudian, polisi menemukan bercak-bercak darah dibelakang kursi mobil Anwar. Polisi juga menemukan potret dua orang anak yang tewas di jalan Jenderal Sudirman dalam kantung celana Anwar. Dengan demikian, Anwar adalah orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban tentang hilangnya tiga anak itu.

Analogi adalah perbandingan dua hal yang berbeda, tetapi masih memperlihatkan kesamaan segi atau fungsi dari kedua hal yang dibandingkan. Berdasarkan banyak kesamaan tersebut, ditariklah suatu kesimpulan.
Contoh :
1. Para atlet memiliki latihan fisik yang keras guna membentuk otot-otot yang kuat dan lentur. Demikian juga dengan tentara, mereka memerlukan fisik yang kuat untuk melindungi masyarakat. Keduanya juga membutuhkan mental yang teguh untuk bertanding ataupun melawan musuh-musuh di lapangan. Oleh karena itu, untuk menjadi atlet dan tentara harus memiliki fisik dan mental yang kuat.
2. Demikian pula dengan manusia yang tidak berilmu dan tidak berperasaan, ia akan sombong dan garang. Oleh karena itu, kita sebagai manusia apabila diberi kepandaian dan kelebihan, bersikaplah seperti padi yang selalu merunduk.

Paragraf hubungan sebab akibat (hubungan kausal) adalah paragraf yang dimulai dengan mengemukakan fakta khusus yang menjadi sebab, dan sampai pada simpulan yang menjadi akibat.
Contoh :
1. Kemarau tahun ini cukup panjang. Sebelumnya, pohon-pohon di hutan sebagi penyerap air banyak yang ditebang. Di samping itu, irigasi di desa ini tidak lancar. Ditambah lagi dengan harga pupuk yang semakin mahal dan kurangnya pengetahuan para petani dalam menggarap lahan pertaniannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan panen di desa ini selalu gagal.
2. Sejumlah pengusaha angkutan di Bantul terpaksa gulung tikar karena pendapatan yang mereka peroleh tidak bisa menutup biaya operasional. Minimnya pendapatan karena sebagian besar penumpang membayar ongkos dibawah ketentuan tarif yang sudah ditetapkan, akibat ketidakmampuan ekonomi.

Kamis, 01 Desember 2011

Kemiskinan dan Dualisme Ekonomi

AWAL Juli 2010 lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan kembali penurunan jumlah orang miskin di Indonesia. Menurut BPS, pada 2010 ini angka kemiskinan turun tipis menjadi 13,32 persen (pada 2009 mencapai 14,15 persen). Dengan begitu, jumlah orang miskin pada 2010 mencapai 31,02 juta penduduk.

Penurunan ini tentu harus disyukuri karena berarti secara perlahan jumlah orang miskin di Indonesia dapat dikurangi. Namun, ada dua hal serius yang justru perlu diwaspadai. Pertama, walaupun persentase kemiskinan turun, persentase jumlah orang miskin di pedesaan justru meningkat (dari 63,35 persen pada 2009 menjadi 64,23 persen pada 2010). Fakta ini merupakan pukulan telak karena pembangunan (ekonomi) justru kian meminggirkan warga pedesaan.

Kedua, jika terus menggunakan pendekatan kebijakan seperti selama ini, tampaknya sampai kapan pun penurunan kemiskinan akan lambat karena mudah menguap disapu aneka kebijakan maupun krisis ekonomi.

Sektor Pertanian Muram

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa lebih dari 60 persen orang miskin ada di wilayah pedesaan. Artinya, kebijakan ekonomi yang diproduksi pemerintah selama ini cenderung memfasilitasi penduduk di perkotaan ketimbang warga desa. Jika dibuat lebih eksplisit, pemerintah lebih mementingkan kegiatan di sektor industri/jasa daripada di sektor primer (pertanian) yang selama ini menjadi tempat mencari nafkah sebagian besar penduduk di pedesaan.

Dengan begitu, melacak penyebab naik turunnya angka kemiskinan di pedesaan sebetulnya tidak sulit, yakni tinggal menganalisis dinamika di sektor pertanian. Hipotesisnya, jika pertumbuhan sektor pertanian bagus, jumlah kemiskinan (di pedesaan) akan cepat turun. Sebaliknya, jika sektor pertanian terpuruk, jumlah kemiskinan akan melonjak. Hipotesis ini sekaligus memudahkan pemerintah mengambil solusi mengatasi problem kemiskinan secara sistematis.

Faktanya, data yang dikeluarkan BPS ternyata mendukung hipotesis tersebut. Biasanya data kemiskinan diambil pada triwulan I tiap tahun, sehingga naik turunnya angka kemiskinan di pedesaan juga bisa dilihat dari pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan I. Data menunjukkan, pada triwulan I 2009 sektor pertanian tumbuh 4,8 persen (terhadap triwulan I 2008), sementara pada triwulan I 2010 sektor pertanian tumbuh hanya 2,9 persen (terhadap triwulan I 2009).

Jadi, data itu dengan jelas menunjukkan adanya penurunan pertumbuhan sektor pertanian 50 persen di antara periode tersebut. Bahkan, data itu juga tetap konsisten apabila membandingkan pertumbuhan sektor pertanian triwulan I 2009 (terhadap triwulan IV 2008) yang 19,3 persen dengan pertumbuhan triwulan I 2010 (terhadap triwulan IV 2009) yang hanya 18,1 persen. Inilah yang menjadi penyebab mengapa jumlah orang miskin di desa meningkat pada saat data nasional kemiskinan menurun.

Yang juga menarik, jika data di atas didalami lagi dengan mengaitkan situasi makroekonomi, akan terdeskripsikan informasi berikut. Pada saat ekonomi sedang krisis (seperti situasi triwulan I 2009, di mana keadaan paling muram akibat krisis ekonomi global yang bermula sejak September 2008) sektor pertanian justru tumbuh bagus.

Sebaliknya, ketika ekonomi berada dalam jalur pemulihan (seperti periode triwulan I 2010, di mana pertumbuhan ekonomi mencapai 5,7 persen) sektor pertanian justru terpuruk ke angka 2,9 persen. Dengan kata lain, jika ekonomi sedang krisis sektor pertanian dijadikan "pelampung" atau katub pengaman. Namun, saat ekonomi menanjak (up-ward), sektor pertanian ditinggal kembali (realitas muram ini tentu sangat menyedihkan).

Pola ini nyaris sama dengan periode 1997/1998 ketika terjadi krisis ekonomi yang hebat, yang saat itu nilai tukar petani (NTP) malah mencapai rekor tertinggi.

Pelanggengan Dualisme

Kenyataan di atas kembali melayangkan pikiran kita tentang dualisme ekonomi yang nyaring disuarakan semenjak dekade 1980-an terhadap perkembangan ekonomi nasional. Dualisme ekonomi itu memisahkan secara tegas ekonomi perkotaan dan ekonomi pedesaan, antara sektor industri/jasa dan sektor pertanian.

Pertumbuhan ekonomi sektor industri/jasa di perkotaan tidak secara langsung menyeret sektor pertanian di wilayah pedesaan. Sebaliknya, pertumbuhan sektor pertanian (khususnya saat krisis) tidak mampu memicu perkembangan sektor industri/jasa.

Hal ini terjadi karena basis pembangunan sektor industri/jasa di Indonesia sama sekali terpisah dengan sektor pertanian. Jadi, tanpa perubahan radikal terhadap pilihan strategi pembangunan nasional mustahil masalah kemiskinan dapat dituntaskan. Pemerintah tahu persis dengan soal ini, tapi mengapa tidak ada langkah konkret untuk mendesain jalan keluar yang sederhana ini?

Pesan dari data dan analisis tersebut sebetulnya sangat jelas, bahwa penyelesaian problem kemiskinan dengan model selama ini, yang fokus kepada kebijakan tambal sulam (misalnya penyaluran kredit dan bantuan karikatif) tanpa berupaya secara sistematis memihak sektor pertanian dan pengolahan/industri (yang terkait dengan sektor pertanian), pasti menemui kegagalan. Bahkan, jika krisis ekonomi terjadi, misalnya ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang anjlok maupun inflasi yang melambung, angka kemiskinan bakal melonjak lagi.
Dengan kata lain, peristiwa krisis dapat menghancurkan upaya penanganan kemiskinan (parsial) yang dilakukan sebelumnya. Ini membuat angka kemiskinan naik-turun mirip roller-coaster: menegangkan, tapi menyenangkan sebagai sebuah permainan.

Ketika uang adalah segalanya, Kita sudah bukan siapa-siapa!!

Setiap orang, berbeda memaknai uang dalam hidupnya. Tak sedikit yang beranggapan, dengan uang rasa hidup yang sesungguhnya, dapat dirasakan. Dengan uang yang sangat banyak, semua diyakini di dunia ini, bisa diatur. Banyak masalah, melanggar hukum, bisa selesai dengan uang. Begitu katanya. Apalagi, tinggal di Indonesia, yang oleh uang banyak orang menjadi lemah dibuatnya.

Sesungguhnya, saat ini, kalau kita perhatikan, cita-cita banyak orang disadari atau tidak, adalah menjadi orang banyak uang. Sebab, asumsinya, apa-apa di dunia ini sekarang, selalu pakai uang. Artinya, dalam keseharian, hidup memerlukan biaya, membutuhkan uang. Makanya, ada yang frustrasi, ketika berburu uang, tak jua dapat-dapat, langsung ingin bunuh diri atau menyendiri karena malu dan takut disangka miskin.

Dengan banyak uang, katanya, lebih dihormati banyak orang. Apa-apa bisa didapat. Hal ini, didukung dalam beberapa fakta sosial, termasuk dalam hubungan kekerabatan dalam keluarga. Selalu, kita mengistimewakan, mereka yang punya uang banyak atau kaya. Jika ada dua orang, yang satu miskin dan satunya lagi kaya, kecenderungan orang lebih melayani si kaya. Karena, banyak orang kita, alat ukuran nilai-nilainya adalah uang (kekayaan).

Karena itu, ada sindiran dalam sebuah anekdot, yang kesimpulannya begini: kalau ada dua orang korban kecelakaan, sama-sama sekarat, maka yang akan ditolong lebih dulu oleh pihak rumah sakit yang diketahui banyak uang. Karena, yang miskin, lebih menyusahkan hidupnya sendiri dan tak bisa bayar biaya rumah sakit.

Di zaman kini, banyak orang mati-matian demi uang. Seakan menyadari, dengan uang akan bahagia serta semua akan baik-baik saja. Karena itulah, angka korupsi, tidak pernah turun di Indonesia. Dan koruptor kakap, nyaris tidak tersentuh hukum, berkeliaran bebas di luar negeri. Hal ini, sebagai indikasi, uang telah diperankan dalam melemahkan hukum.

Berbagai persoalan bangsa yang menyedihkan dan merisaukan hati yang saat ini banyak muncul ke permukaan, kalau ditelusuri, semua dimainkan mafia, yang inti boroknya adalah uang. Ada yang menjelma sebagai mafia pajak, hukum, anggaran, proyek dan terakhir tersebut pula mafia pemilu. Apa yang tersiratkan di balik semua itu: demi uang!

Banyak masalah yang timbul akibat uang sebagai media ukurnya. Hedonisme, gaya hidup konsumtif, antara lain telah menjelma dari berbagai arah, yang kemudiannya harus dipahami, hidup bahagia berdasarkan sebanyak apa kita punya uang untuk bisa beli ini dan itu.

Ketika satu sama lain telah menjadikan “uang” sebagai sesuatu yang ajaib, yang bisa mengubah perilaku dan keadaan sosial serta psikologi seseorang, maka yang akhirnya kita pahami adalah, bagaimana menjadi benar memaknai keberadaan uang.

Uang bukanlah kekuatan untuk memoles diri menjadi bukan sesungguhnya. Tetapi, uang mestinya sebagai alat untuk membuat seseorang duduk pada tempat yang tepat, kemudian menggerakkannya kepada arah dan sasaran yang tepat.

Jika saat ini kita berkata, uang bukan segalanya, bisa jadi akan ada orang yang bilang kita munafik atau dianggap seorang yang sering kesulitan uang sehingga berupaya tidak tertarik pada uang. Padahal, kita menyadari, memang kita perlu uang, tapi bukan karena uang kita hidup dan bahagia. Karena itu, masih ada orang yang takut korupsi, karena uang hasil korupsi, diyakini tidak akan menjadikan hidup bahagia yang sebenar-benar bahagia.

Memiliki uang banyak, sesungguhnya tidak dilarang. Bahkan, kita dukung setiap orang menjadi kaya. Tapi didapat dengan cara halal. Karena, kita tidak ingin, ketika dia mendapat, pada saat itu ada pula orang yang kehilangan karena ulah kita.

Memiliki uang, sesungguhnya suatu keharusan, karena dengan punya uang, seseorang cenderung lebih percaya diri. Cuma, banyak orang, dengan banyak uang, ia kadang ingin menguasai orang. Karena mereka yang banyak uang, adalah kaum kelas atas, yang ketakutan abadinya adalah tidak punya uang alias jatuh miskin.

Uang Rakyat Untuk Rakyat

Tidak mempunyai sense of crisis atas kondisi masyarakat belakangan ini! Demikian pokok komentar masyarakat dan media masa atas rencana para eksekutif dan legislatif Pemko Padang yang menganggarkan pembelian laptop beberapa waktu yang lalu.

Apa yang terjadi di Padang ini memang bukan kasus luar biasa di negeri ini. Di banyak daerah, hal ini juga dapat ditemui. Bahkan polemik serupa terjadi di DPR Pusat yang berakhir dengan pembatalan pembelian laptop beranggaran 22 milyar itu. Lalu mengapa masalah semacam ini kerap terjadi yang mengakibatkan begitu banyak komentar negatif masyarakat?

Pada dasarnya pembelian peralatan semacam laptop atau perlengkapan lainnya adalah sesuatu yang biasa dan wajar saja. Namun, bila peralatan tersebut dibeli tidak berdasarkan kebutuhan, ini menjadi tidak biasa dan wajar. Masyarakat tentu sulit dibuat percaya bila pembelian laptop dengan uang rakyat tersebut akan meningkatkan kinerja legislatif dan menghasilkan manfaat bagi rakyat. Tidak aneh jika hal semacam itu membuat masyarakat meradang.

Bukan hanya pembelian laptop, penggunaan uang rakyat yang tidak jelas manfaatnya untuk rakyat dapat dipastikan akan menuai protes masyarakat. Lihatlah, studi-studi banding ke luar negeri yang acapkali dilakukan oleh DPR juga sering menuai protes. Masyarakat seolah-oleh berada di puncak ketidakpercayaan terhadap wakil-wakilnya yang dianggap hanya memboroskan uang mereka tanpa kinerja yang jelas.

Adalah wajar jika masyarakat mempertanyakan penggunaan uang mereka. Sangat wajar pula bila masyarakat menuntut kinerja atau hasil dari penggunaan uang mereka. Apalagi di era reformasi ini, dimana pemerintah sejak tahun 1999 dalam UU No. 28/1999 tentang Penyelenggara Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas KKN; telah menegaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus berasaskan ‘Akuntabilitas’. Makna ‘Akuntabilitas’ dalam UU tersebut adalah bahwa setiap penggunaan dana publik harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat berupa kinerja atau hasil yang dapat dirasakan oleh masyarakat.

Berdasarkan asas akuntabilitas inilah kemudian dikeluarkan Inpres No. 7/1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Inpres ini menandai dimulainya penerapan manajemen berbasis kinerja di instansi pemerintah, yang kemudian mendorong pemerintah untuk memulai penerapan anggaran dan pertanggungjawaban berbasis kinerja di daerah melalui PP 105/2000 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan PP 108/2000 tentang Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Sedang untuk instansi pusat, penerapan anggaran berbasis kinerja sendiri baru dimulai setelah dikeluarkannya UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Peraturan perundang-undangan tentang manajemen pemerintahan berorientasi hasil atau kinerja ini saat ini sudah demikian rinci. Peraturan-peraturan ini berusaha meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan uang rakyat. Terakhir, Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri No. 13/2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Permendagri ini secara rinci mengatur agar pengeluaran uang rakyat pada pemerintahan daerah dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Rencana penyusunan perencanaan daerah dengan menggunakan pendekatan berdasarkan prestasi kerja dan berbasis anggaran kinerja, untuk itu ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi, antara lain adalah kelayakan RPJM Daerah dan Rencana Strategis (Renstra) SKPD (satuan kerja).

Sementara ini, pada praktiknya sering terjadi kerancuan dalam proses perencanaan antara perencanaan yang ditetapkan pada tingkat pemerintah daerah dengan unit-unit pelaksananya (satuan kerja), yaitu belum adanya keselarasan diantara kedua perencanaan tersebut.
Dalam Permendagri ini, sistem penganggaran lebih mengarah kepada manfaat/hasil dari alokasi dan penggunaan anggaran yang bersangkutan. Alokasi dan penggunaan anggaran akan menjadi jelas, seperti apa yang akan dihasilkan oleh suatu instansi pemerintah dalam satu kurun waktu tertentu, berapa dana yang dibutuhkan untuk memperoleh/mencapai hasil yang ditetapkan tersebut. Dengan menggunakan pola anggaran yang demikian, maka alokasi dan penggunaan anggaran akan sangat terkait dengan perencanaan, dalam hal ini terdapat keterkaitan antara hasil yang diharapkan dan anggaran yang diperlukan. Sehubungan dengan pola anggaran tersebut, pertanggungjawabannyapun akan menyesuaikan.

Pertanggungjawaban tidak lagi berupa berapa dana/anggaran yang telah diserap melainkan seberapa jauh hasil atau manfaat yang ditetapkan sebelumnya itu dapat tercapai yang disertai dengan penjelasan dan analisis atas capaian hasil/manfaat yang bersangkutan.
Prinsip dasar anggaran berbasis kinerja adalah bahwa anggaran hanya disetujui dan dikeluarkan bila rencana kinerja atau manfaat dari uang rakyat yang dibelanjakan itu benar-benar untuk rakyat.

Jadi kembali kepada polemik pembelian laptop atau studi banding ke luar negeri, boleh atau tidaknya kegiatan tersebut dilakukan tentu tergantung kepada ada atau tidak manfaatnya kepada rakyat. Bila memang ada manfaat bagi rakyat tentu dapat disetujui. Sebaliknya bila tidak jelas hasilnya, anggaran tersebut sebaiknya ditolak.

Sayangnya, anggaran berbasis kinerja ini nampaknya masih sebatas aturan saja. Pola pikir penggunaan uang rakyat masih didasarkan kepada berapa dan apa yang akan dibelanjakan ketimbang hasil apa yang akan dihasilkan. Pembicaraan di kalangan pemerintah pun seringkali berkisar kepada besarnya penerapan anggaran dan bukan pada kinerja yang telah dihasilkan. Bahkan, terdapat kecenderungan bila dana yang terserap hanya sedikit akan dikatakan tidak baik dan alokasi dana tahun berikutnya akan dibatasi.

Heboh pembelian laptop di Pemko Padang atau DPR Pusat atau studi banding anggota DPR ke luar negeri sebenarnya juga hanya merupakan beberapa contoh ekstrim saja dari penyimpangan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja. Masalah sesungguhnya jauh lebih besar. Hingga kini, masih banyak pengeluaran-pengeluaran lain baik di pusat maupun daerah yang tidak jelas hasil atau manfaatnya bagi rakyat. Laporan hasil evaluasi nasional atas LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) yang disusun oleh Kementerian PAN dan BPKP mengidentifikasikan bahwa mayoritas instansi pemerintah di pusat dan daerah (lebih dari 90%) belum sepenuhnya menerapkan perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja. Benang merah atau kaitan antara rencana, anggaran dan hasil atau kinerja yang ingin dicapai tidak jelas. Target kinerja dan tolok ukur kinerja keberhasilannya dibuat sekedar formalitas agar anggaran disetujui.

Kalau sudah begini, jangan berharap uang rakyat akan kembali ke rakyat. Uang rakyat akan habis setiap tahun, tapi manfaat untuk rakyat tidak akan pernah optimal, sulit diukur dan dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, dari tahun ke tahun, rakyat bertambah miskin, pendidikan tambah sulit dan mahal, indeks kesehatan masyarakat terus menurun, pengangguran terus meroket dan hutang negara terus bertumpuk. Akhirnya, kesejahteraan rakyat hanya tinggal menjadi mimpi yang tak pernah usai.

IHSG Mati Suri, Rupiah Loyo

Memahami pergerakan IHSG dan nilai tukar rupiah/dolar dalam beberapa pekan terakhir cukup mengkhawatirkan beberapa pihak. Penurunan IHSG yang menyentuh posisi 1.296 dan rupiah yang menyentuh 12.050 pada penutupan Jumat (20 Februari 2009) mengindikasikan bahwa kondisi pasar keuangan domestik berada pada posisi rawan.

Pelemahan rupiah dan IHSG di tengah-tengah ambruknya bursa regional dan belum pastinya pemulihan ekonomi AS,secara mudah dan gamblang disebut-sebut sebagian pengamat sebagai penyebab utama masalah ini. Bahkan, pelemahan ini dianggap fenomena yang lazim di saat suatu negara sedang mengalami resesi. Pelemahan nilai tukar rupiah dan IHSG seharusnya dapat dilihat dalam perspektif yang luas bahwa fenomena ini bukan sekadar fenomena moneter. Lebih dari itu, secara ekonomi politik banyak hal yang menyebabkan keterpurukan ini.

Makroekonomi vs Ekonomi Politik

Dalam perspektif makroekonomi, pelemahan indikator IHSG dan kurs mudah dipahami. Bahwa pelemahan itu disebabkan oleh faktor-faktor yang mendeterminasikannya dalam jangka panjang dan jangka pendek. Dalam jangka panjang, penguatan kurs dan IHSG dipengaruhi oleh faktor seperti: produktivitas ekonomi, harga relatif, hambatan perdagangan, dan kinerja ekspor/impor.

Dalam konteks ini, jika salah satu atau beberapa faktor di atas memberikan efek positif pada kondisi neraca perdagangan (surplus), kurs dan IHSG akan meningkat secara bersamaan. Rasionalnya, jika barang produk Indonesia laku di pasar dunia, permintaan rupiah meningkat (kurs terapresiasi).
Contoh lain, jika industri produk domestik semakin baik dalam kompetisi global, investor-investor akan memburu saham-saham domestik (IHSG terdongkrak). Namun, penjelasan di atas tentu tidak dapat ditelan bulat-bulat bahwa dalam pandangan ekonomi politik (non mainstream), ada pertimbangan lain yang menyebabkan rasionalitas di atas tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Pertama, nilai perdagangan valas (mata uang) jauh lebih besar dibanding nilai perdagangan barang dan jasa. Hal ini membuktikkan bahwa neraca perdagangan yang positif belum tentu mendongkrak kurs dan IHSG. Dalam konteks ini tingginya pengaruh sentimen pelaku pasar dan transaksi spekulatif mendominasi ekspektasi investor. Kedua, tingginya penggunaan US dolar dalam perdagangan internasional semakin menjelaskan bahwa surplus perdagangan (ekspor lebih besar dibanding impor) belum tentu meningkatkan permintaan rupiah. Sebab, partner dagang akan menyukai pembayaran dalam bentuk US dolar.

Lemahnya penjelasan makroekonomi tentang determinasi nilai tukar jangka panjang, mendorong pembenaran lain dalam jangka pendek. Hal itu disebabkan volatilitas dan fluktuasi kurs dan IHSG cenderung tinggi dalam jangka pendek. Secara sederhana, dalam konteks jangka pendek, dua faktor utama yang dipertimbangkan ialah perbedaan suku bunga (domestik dan asing) dan ekspektasi. Sebagai contoh, jika suku bunga riil (suku bunga domestik dikurangi suku bunga asing) adalah positif, kemungkinan capital inflow yang dapat memperkuat posisi mata uang domestik akan semakin meningkat.

Namun, tentu saja, rasionalitas tersebut dapat memberikkan efek yang mungkin berbeda dan membingungkan. Sebagai contoh, tren suku bunga yang meningkat bisa diartikan investor sebagai preseden buruk dalam suatu perekonomian karena suku bunga yang tinggi bisa berarti inflasi yang tinggi, dan kontraksi ekonomi. Akibatnya, ekspektasi investor akan semakin negatif, yang terefleksi dengan semakin enggannya investor asing/domestik memegang aset domestik.

Dalam konteks jangka pendek, kedua faktor di atas (perbedaan suku bunga dan ekspektasi) memang memainkan peran penting dalam menjelaskan pergerakan bursa dan kurs yang cenderung fluktuatif dan liar. Namun, lebih dari itu, pemahaman yang menyeluruh tentang perilaku pasar dan pemain-pemain di dalamnya juga harus menjadi perhatian serius.

Pertama, kondisi anomali di pasar keuangan yang cenderung liar membutuhkan strategi ekonomi politik yang tepat dan komprehensif. Volatilitas pasar keuangan yang berlebihan harus dapat diregulasi dengan ketat dan kuat, dengan mengontrol modal yang ketat. Krisis keuangan yang terjadi pada 1997 seharusnya dapat menjadi pelajaran penting bahwa krisis ekonomi meluas, berawal dari indikator pasar saham dan pasar keuangan yang semakin drop.Selanjutnya, keikutsertaan asing dalam pasar keuangan domestik harus dapat diregulasi dengan ketat, namun tidak berpaling dari prinsip fairness dan keterbukaan.

Kedua, intervensi Bank Indonesia (BI) jelas tidak akan efektif dengan hanya melakukan intervensi yang bersifat unsterilized dan sterilized di pasar uang. Hal itu disebabkan kemampuan dan kapasitas cadangan devisa BI sangat-sangatlah terbatas. Di sisi lain, intervensi pasar valas yang berlebihan akan berdampak cukup berat dalam pengelolaan uang beredar dan pencapaian target inflasi. Bahwa intervensi valas mungkin akan berkonflik dengan pencapaian target inflasi.

Membangun Kerjasama Regional

Penguatan bursa saham domestik dan mata uang lokal tidak akan efektif jika dilakukan dengan kemampuan sendiri. Nasib serupa yang dialami bursa regional setidaknya harus dapat mendorong kerja sama regional dalam konteks penguatan sistem keuangan. Hal ini disebabkan tiga rasional penting. Pertama, kekuatan dolar dalam sistem pembayaran dalam perdagangan internasional tentu bukanlah hal mudah untuk ditaklukkan.

Kedua, tingginya aksi spekulatif para Hedge Funds (spekulator besar) tidak akan dapat ditandingi bank sentral mana pun di dunia. Ketiga, penyelamatan pasar keuangan juga berarti penyelamatan ekonomi secara luas. Dalam hal ini jika pasar keuangan dibiarkan bankrupt, efek penularan krisis lambat laun akan menyebar bak penyakit epidemi.

Derita Petani dan Korupsi di Sektor Pangan

Sejak lima atau empat abad silam, bangsa Asia seperti Cina, India, Persia dan Eropa telah melakukan perdagangan dengan penduduk pribumi diseluruh pelosok Nusantara. Bangsa ini cukup dikenal, karena subur dan kaya sumber daya alam. Terutama hasil bumi dan pertaniannya, seperti kopra, cendana, gaharu dan rempah-rempahan. Dahulunya Nusantara ini disebut negeri, “gemah ripah loh jenawi”. Bahkan dalam dendang tahun 60-an disebut “negeri kolam susu”. Sepertinya sudah ditakdirkan negeri ini adalah sepotong sorga yang diturunkan Tuhan dari langit.

Banyak kisah dan sebutan-sebutan tentang negeri ini yang indah dan elok. Namun sebutan ini tidak selalu seindah namanya, malah justru sering kali membawa persoalan dan petaka besar bagi kehidupan rakyatnya. Hampir sepanjang masa, rakyatnya hidup miskin. Tiga setengah abad lamanya dijajah Belanda dan belakangan petaninya terjajah pula oleh bangsanya sendiri. Apapun sebutan dan kisahnya, karena disebabkan kebodohan, “kufur nikmat”, telah “menina-bobokkan” bangsa ini dalam waktu yang lama. Bangsa ini tertidur pulas dihamparan “permadani hijau” bertabur jamrud, mutu-manikam, terhipnotis hembusan angin sorga yang terus meniupi katulistiwa dan hanyut jauh dalam dendang “rayuan pulau kelapa”.

Ironisnya semua itu hanyalah mimpi semata. Nyatanya nasib dan kehidupan para petani dinegeri ini tak seindah mimpi yang datang disetiap tidur mereka. Sebab realitanya, ketika mereka terbangun dan menghadapi kenyataan hidup mereka yang sebenarnya, justru kehidupan mereka sangat memprihatinkan dan menggenaskan. Sungguh memuakkan terlahir sebagai petani, karena statusnya sangat dipandang rendahan dan sebelah mata.

Menjadi petani berarti siap untuk menderita. Bahkan dalam kondisi yang sangat tertekan sekalipun, mereka petani masih dihadapkan dengan harga pupuk yang mahal, gagal panen pengaruh iklim yang tak kompromis akibat pemanasan global, bencana alam lainnya, ancaman hama, ditambah segudang regulasi dan kebijakan pemerintah yang tidak pernah memihak kepada para petani.

Banyak sawah dipelosok-pelosok negeri dibiarkan terlantar oleh yang empunya, karena ongkos produksi bertani padi lebih tinggi dari hasil penjualan pasca panen. Harga beras yang murah membuat petani setengah hati untuk menggarap sawah-sawah mereka. Kalaupun sawah dikerjakan, bukan berarti mereka hendak mencari untung, tapi cuma sekedar mengisi hari-hari dan mencoba menghalau kegundahan yang menyelimuti mereka. Kebijakan negara mengimpor beras untuk menekan harga gabah petani sungguh memukul mental dan kinerja para petani.

Negara ini lebih suka mensubsidi negara asal pengimpor, ketimbang mensubsidi petani sendiri. Pada hal pembelian beras ke Thailand dan Vietnam dengan harga yang mahal dilakukan dengan mekanisme impor berlabel subsidi. Ironisnya impor tersebut semuanya memakai uang negara dengan berkedok subsidi untuk rakyat, JPS, raskin, operasi pasar dan pasar murah. Praktek subsidi dan regulasi terhadap impor beras dilakukan dengan alasan agar harga beras murah dan terjangkau oleh rakyat.


Diperlihatkanlah seolah-olah negara peduli dengan nasib rakyat miskin, dengan segera memenuhi kebutuhan pangan mereka. Kebohongan pun terus berlanjut. Dilegitimasi dengan daya beli rakyat yang rendah, maka untuk itu negara bealasan turun tangan memberi subsidi. Tetapi sebenarnya dibalik semua itu, kebijakan impor berlabel subsidi telah menimbulkan kerugian yang sangat besar, karena otomatis mematikan jiwa dan semangat bertani para petani – yang menjadi penghuni mayoritas negeri ini. Bahkan diluar itu sudah menjadi rahasia umum bahwa praktek impor beras sangat sarat muatan korupsi.

Faktanya sampai hari ini, banyak kasus korupsi hebat yang terungkap di Bulog maupun diberbagai lembaga lainnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan pokok pangan rakyat. Pada hal sebenarnya, bila harga beras dan produk pertanian lainnya katakanlah menguntungkan, maka rakyat Indonesia sebenarnya bisa lebih sejahtera, karena bisa mengekspor produk pertaniannya dengan harga yang bersaing.

Sebab dengan harga yang baik, logikanya petani kembali bergairah mengelola lahan mereka sendiri. Bahkan bila semua pabrikan di Kerawang dan Banten kembali beralih fungsi seperti semula, maka kawasan ini bisa kembali menjadi lumbung pangan nasional dan kembali berswasembada pangan.

Dengan alasan demikian, patut dipertanyakan, kok bisa dinegeri ini “petani kelaparan dilumbung padi”? Anehnya lagi, negara yang dikenal agraris, tanahnya subur, justru kerja pemerintahnya hanya mengimpor beras, jagung, gula dan kacang kedele. Mana kala semuanya itu bisa ditanam di Indonesia. Bukankah seharusnya sebagai negara agraris, Indonesia patut konsisten mengekspor produk pertanian saja, karena Indonesia mempunyai keunggulan alamiah (comparative adventage) tak terbandingkan dibelahan dunia manapun.

Lagi pula, tugas menteri perdagangan Indonesia, seharusnya memaksimalkan ekspor produk pertanian tropis, karena secara komparatif Indonesia unggul dibidang ini. Industri tertiar, seperti elektronik dan kendaraan bermotor yang menjadi andalan industri bangsa lain, ternyata tidak cocok diterapkan di Indonesia, karena ternyata sedikit pun tidak mampu merubah peningkatan tarap hidup rakyat Indonesia. Barang-barang tertier cukuplah diimpor, sebab selama inipun kehidupan industri Indonesia, hanyalah industri “tukang jahit”.

Bila dicermati secara ekonomis, upaya investor membangun pabrik di Indonesia, hanyalah karena upah buruh yang murah dan kepentingan strategis mereka, agar lebih dekat dengan pangsa pasarnya.

Korupsi di Lumbung Pangan

Sungguh malang nasip petani di negeri ini. Sudahlah dirugikan, karena mengeluarkan ongkos produksi yang mahal, mereka pun tidak bisa menjual hasil pertaniannya sedikit diatas ongkos produksi. Bahkan ironisnya, bermacam subsidi yang diberikan negara, justru dinikmati oleh negara asal pengimpor yang tentunya banyak mengambil untung. Belum lagi praktek koruptif yang dilakukan oleh aparatus Bulog bersama rekananannya, ketika membeli beras maupun disaat mendistribusikan beras impor kepasaran dalam negeri.

Bulog bisa saja membeli beras ke negara tetangga (tercatat dikuitansi) seharga Rp.5.000,- perkilogram dengan memakai dana APBN, walaupun nyatanya yang dibayarkan kepada importir hanya Rp.4.500,- perkilogram. Korupsinya sekitar Rp.500,- perkilogram. Lalu beras impor tersebut kemudian didistribusikan ke rekanan dengan harga yang sudah disubsidi oleh negara, katakanlah dijual Rp.3.000,- perkilogram, maka Bulog sekali lagi menerima komisi haram Rp.200,- perkilogram secara diam-diam dari distributor dan rekanan.

Nanti disaat dilempar dipasaran, harga beras impor itupun dijual dengan harga berpluktuasi sekitar Rp.3.500,- perkilogram. Berdalih praktek stabilisasi harga ala Bulog diatas, maka otomatis menyebabkan harga gabah petani dipasaran menjadi anjlok. Pada hal supaya untung, seharusnya beras petani terjual Rp.5.000,- perkilogram, sebagaimana juga Bulog membeli beras impor kenegara tetangga. Akan tapi, karena praktek impor beras ini jugalah, maka akibatnya harga beras petani terpaksa menyesuaikan dengan harga pasar menjadi sekitar Rp.3..500,- perkilogram.

Dari perkiraan diatas, dapat dihitung korupsi yang dilakukan oleh koruptor dilumbung pangan. Asumsinya adalah bila setahun Bulog mengimpor 200.000 ton beras, maka uang rakyat yang dikorupsinya adalah sekitar 140.000.000.000,- pertahun atau sebelas milyar perbulan. Bukankah itu sebuah angka yang sangat fantastis?

Memang aneh, di negeri yang terus nestapa, karena korupsi dan dililit utang. Buruh dan abdi negara, seperti PNS, TNI/POLRI digaji murah, hingga mereka pun tak mampu beli beras dengan harga yang menguntungkan petani. Hanya demi melindungi 20% buruh murah dan abdi negara, maka berdalih subsidi untuk rakyat, pemerintah mengorbankan nasib, cita-cita dan bahkan segala-galanya kehidupan masyarakat tani yang mayoritas 80% penghuni tetap negara ini. Bahkan bila dicermati lebih lanjut, maka uang subsidi dan pembelian beras impor yang telah dikeluarkan negara itu juga berasal dari pungutan uang rakyat.

Sudah sepatutnya dikelola secara adil dan merata, dengan mendahulukan asas kepentingan dan kemaslahatan orang banyak. Dengan demikian, takkan ada petani yang mati dilumbung padi. Takkan ada tikus yang menguasai lumbung padi, yang bisanya (racunnya) selalu mematikan kehidupan petani.

Harapan kita kedepan, hendaknya pertanian menjadi andalan utama dan fokus tetap pemerintah. Buanglah mimpi menjadi negara industri pabrikan, kecuali upaya mendesak yang sesegeranya dilakukan pemerintah untuk meregulasi ulang kebijakan sektor pertanian dan memodernisasi industri pertanian.

Karena pertanian adalah sudah merupakan karunia besar dan takdir Tuhan untuk kemakmuran negara ini. Jangan sampai bangsa ini berulang kali terpuruk dan jatuh kelobang yang sama. Selama ini petani dan buruh negeri ini hanya dimanfaatkan oleh kepentingan kapitalisme global, karena pasarnya yang empuk, murah didikte asing dan terkenal dengan upah buruh yang murah.

Akibatnya, dengan upah dan gaji yang kecil, maka implikasinya adalah ketidakmampuan buruh, pegawai negeri, termasuk buruh tani untuk membeli beras dengan harga yang memadai. Dengan demikian diharapkan kedepan, harga beras kita mampu bersaing dan bisa memberikan keuntungan bagi petani pangan, karena dengan harga produk pertanian yang baik, keuntungan bisa diraih oleh para petani. Konkritnya, regulasi dan kebijakan pertanian hendaknya bisa memberikan nilai tambah dan keuntungan yang cukup bagi para petani, tentunya diluar ongkos produksi yang telah mereka keluarkan.

Mudah-mudahan dengan bertahap, kita bisa kembali mengejar ketertinggalan dengan Malaysia, Thailand dan Vietnam yang petaninya lebih sejahtera, sebab mereka dari dulu konsisten sebagai negara agraris.. Mereka justru tidak perlu mengejar target menjadi negara industri pabrikan. Cukup saja menjadi negara agraris dan tetap fokus memodernisasi industri pertaniannya yang langsung menopang kehidupan petani-petani mereka.

Itulah sekelumit kisah nestapa petani dinegeri ini. Sepanjang masa kehidupan mereka dikeroyok dari berbagai sisi hingga babak-belur, sampai mereka pun susah untuk bangkit kembali. Namun demikian, petani-petani pejuang itu tetap saja memimpikan datangnya sang “ratu adil” dan berharap disuatu saat nanti, nasib mereka bisa menjadi lebih baik. Sekalipun nyatanya hari ini keberpihakan negara yang ditunggu itu tak kunjung datang.

Kapitalisme, Pemanasan Global dan CSR

Kapitalisme memang menjadi idiologi penggerak dan pengendali perekonomian global, mulai dari teori produksi sampai kepada ekonomi minyak, bahkan ekonomi persenjataan tak terlepas dari kapitalisme. Akibatnya, tanpa disadari kita telah berada dalam atmosfir globalisasi ekonomi. Dan globalisasi ekonomi tersebut juga dikendalikan oleh kapitalisme. Negara mana yang memiliki warna dan idiologi kapitalisme didunia ini? Tentu negara yang menguasai perekonomian global.

Sepuluh tahun terakhir ini opini dunia telah dipenuhi oleh pemanasan global, menjelang issue pemanasan global yang dulunya pernah dikenal dengan effect rumah kaca. Maksudnya sama. Indikasinya, suhu udara dari waktu ke waktu menunjukan peningkatan; iklim yang tidak menentu; jika musim hujan terjadi banjir yang luar biasa dan membinasakan, dan jika musim panas terjadi kekeringan yang luar biasa dan mendatangkan kebakaran dimana-mana; permukaan laut semakin tinggi sehingga banyak pulau yang tenggelam dan bibir pantai yang semakin menyempit–mengejar daratan; semakin menipisnya ketersediaan sumber air bersih dari tanah; berbagai macam munculnya jenis penyakit yang tidak teridentifikasi sebelumnya.

Semuanya itu menjadi momok bencana yang berhubungan langsung dengan manusia.Dari fenomena diatas, ahli ekonomi kewalahan meletakan dasar teori untuk memprediksi perekonomian masa akan datang. Banyak negara dalam beberapa tahun terakhir ini perlu menata ulang Anggaran Belanja negaranya, bahkan Indonesia untuk tahun 2008 perlu meninjau ulang RAPBN. Berkat globalisasi ekonomi, satu saja negara maju seperti Amerika Serikat mengalami masalah ekonomi akan berdampak pada negara lain. Semuanya itu tidak terlepas dari dampak kapitalisme dengan institusi-institusi ekonomi global.

Sekarang sudah mulai menyadari, para ahli ekonomi dan pelaku ekonomi bahkan pengamatlebih mengarahkan fokus diskusi kepada bagaimana mengelola sumberdaya bernilai ekonomi berdasarkan etika, moral, dan tanggungjawab sosial. Yang selama ini diabaikan oleh para kapitalis. Permasalahannya, bagaimana mengarahkan idiologi kapitalisme ini kearah moralitas dan etika.

Apakah dua mata angin yang berlawanan itu akan ada titik temunya, ADA. Tentu dengan tanggungjawab sosial atau ”social responsisbility” perusahaan/corporate. Dengan SR ini diharapkan organisasi bisnis dapat meminimalisir eksternalitas negatif terhadap lingkungan dimana organisasi itu berada.

Secara pilosofis, tujuan dari Corporate Social Responsibility untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Tanggung jawab sosial perusahaan adalah komitmen bisnis untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi, bekerjasama dengan karyawan, keluarga-keluarga mereka, masyarakat dan masyarakat lokal untuk meningkatkan mutu hidup mereka (WBCSD, 2000). CSR mengacu pada prakarsa secara sukarela yang diambil oleh pelaku bisnis untuk bertindak secara bertanggung jawab dengan semua stakeholders.

Dalam hal ini kita perlu menguraikan tiga aspek CSR yang diantaranya voluntarisme, stakeholder manajemen, dan networking. Gagasan yang pertama adalah sebagai dorongan sebagai ganti hukuman, dengan kata lain voluntarism. Argumentasinya bahwa perusahaan dapat menunjukkan tanggung jawab sosialnya dengan mengeluarkan suatu cara yang lebih produktif dan efisien – melakukannya dengan sukarela (Bryane, 2003). Konsep yang kedua bersandar pada stakeholder manajemen.

Dalam hal ini perusahaan tidak lagi pertanggungjawabannya hanya untuk mereka pemegang saham, melainkan dipengaruhi oleh berbagai operasi perusahaan yang menjadi pertimbangan dengan seksama yang meliputi pelanggan, karyawan, para penyalur, mitra, dan lingkungan lokal. Aspek penting lain dari prakarsa CSR adalah efek jaringan yang diakibatkan oleh interaksi yang terjadi melalui prakarsa ini dalam bentuk komunikasi perusahaan pada publik. Dalam implementasinya perusahaan menyebarkan informasi melalui halaman web, laporan berkala, dokumen ilmiah, dan bestpractice studi, seperti hal lainnya dimana perusahaan memenuhi undangan konferensi dan seminar. Saluran komunikasi ini dapat menyokong corporate social responsibility.

Di dalam teori ekonomi, CSR dilihat sebagai alat strategis corporate untuk mencapai sasaran hasil akhir, dan juga menciptakan kekayaan dalam jangka panjang, di mana perusahaan bertanggung jawab ke pemegang saham dan stakeholder lainnya. Perusahaan akan menerapkan CSR sepanjang mereka dapat bermanfaat secara ekonomis dari pelaksanaan perilaku yang bertanggung jawab tersebut, seperti menciptakan suatu merek yang akan meningkatkan pemasaran (Lantos, 1999). Sepertinya, motivasi utamanya memang bagaimana perusahaan dapat meningkatkan laba dalam jangka panjang.

Dalam operasionalisasinya untuk menerapkan CSR ini tidak akan terlepas dari teknologi, seperti teknologi yang berwawasan lingkungan adalah suatu kasus sempurna untuk menggambarkan dan pemahaman CSR. Isu ini pada dasarnya didasarkan pada pengembangan yang bisa mendukung dan pendekatan secara umum. Pada sisi lain, dapat juga diklaim bahwa program CSR dan adopsi teknologi dapat juga secara ekonomis mendatangkan lingkungan sehat dan lingkungan ramah, apabila dilakukan dengan cara yang benar.

Komisi pengawas dunia pada lingkungan melaporkan (1987) 'Masa depan kita' adalah suatu usul yang berhubungan dengan metoda untuk pertumbuhan ekonomi dengan mengambil isu lingkungan ke dalam pertimbangan kombinasi ekonomi dengan etika. Lihat dari suatu perspektif ekonomi, yang sedang kekuatan lingkungan teliti melibatkan investasi di dalam teknologi, metoda, perkakas, dan bahan baku yang lebih tinggi dibanding kasus untuk lingkungan acuh tak acuh/tak memihak itu.

Tanggungjawab social perusahaan kini jamak diakui bahwa kebijakan-kebijakan etis dapat menarik para pelanggan, dan kebijakan nonetis yang menyebabkan retaknya public relations membuat pelanggan lari. Kebijakan-kebijakan CSR yang diterapkan perusahaan-perusahaan dapat dikelom-pokan kedalam tiga level yang berbeda.

a.Level pertama = level paling dangkal, adalah CSR semata-mata sebagai ’aksi’ – sesuatu yang kelihatan bagus bagi tujuan-tujuan public relations. Pada umumnya CRM yang diterapkan oleh beberapa perusahaan masuk kedalam level ini. Apapun kegiatan dan program yang dilakukan perusahaan dengan pendekatan public realtions yang tujuannya adalah laba dan laba, perusahaan tidak akan memberikan sesuatu kalau tidak ada laba yang diperolehnya terutama laba dalam jangka pendek. Dapat dikatakan bahwa profit orientedlah yang menjadi tujuan perusahaan dalam melakukan pendekatan dengan publik.

Level pertama ini tidak akan ada kemajuan selagi pelanggannya tidak memiliki kecerdasan dan juga tidak memiliki bargaining. Disamping itu perusahaannya juga monopoli dan atau perusahaan membentuk sindikasi. Contohnya, betapa rendahnya bargaining pelanggan telepon seluler di Indonesia, dan betapa tingginya biaya komunikasi di Indonesia. Kalau ada promosi biaya komuniasi yang rendah itu hanya akal-akalan saja. Berkat jor-joran promosi biaya rendah yang menjadi korban adalah pelanggan pasca bayar dibandingkan pelanggan prabayar – yang setiap waktu dapat menukar kartu prabayarnya seperti membeli kacang goreng.

b.Level kedua = level yang agak dalam, adalah menerapkan CSR sebagai sebuah bentuk strategi defensive. Kebaikan yang dilakukan perusahaan disini tidak berangkat dari visi-batin perusahaan. Dalam penelitian terakhir yang dilakukan oleh PW Copers mengenai kebijakan CSR, ditemukan bahwa mayoritas perusahaan yang menjalankan CSR melakukannya untuk menghindari konsekuensi negatif dari citra yang buruk. Perusahaan melakukan perbaikan kondisi kerja dan kebijakan lingkungan sangat sering didorong oleh reaksi defensif ini. Ini dilakukan sama saja dengan strategi ”Aku melindungi diriku dengan menolongmu”.

Lagi pula, kebaikan yang dilakukan untuk tujuan defensif semacam itu bisa menimbulkan ”serangan balik” karena akan menyulut sinisme pelanggan. c.Level ketiga = level terdalam, bermula dari keinginan murni untuk melakukan kebijakan yang bersemayam tepat di inti visi dasar perusahaan. Seperti program akbar Coca Cola untuk mendirikan klinik-klinik kesehatan disepanjang pedesaan Cina daratan. Seperti perusahaan Coffe Star Burg yang meningkatkan kualitas hidup para petani kopi–industri hulunya.

Perusahaan-perusahaan yang bergerak pada level ini melakukannya sebagai bagian dari visi dasar mereka, yaitu bahwa salah satu alasan yang baik untuk mengumpulkan kekayaan adalah amal-amal kebaikan yang bisa dilakukan dengan menggunakan kekayaaan yang terkumpul.

Sekarang perlu kita renungkan, posisi perusahaan kita dimana? Apakah sudah sampai pada level 3 atau masih tetap mempertahankan diri pada level 1. Menurut hemat penulis, social responsibility (SR) bukan hanya kewajiban moral perusahaan/organisasi bisnis, namun hendaknya berlaku juga bagi institusi publik dan organisasi nir laba lainnya, partai politik dan perguruan tinggi di negara tercinta ini.

Seandainya semua organisasi bisnis dan publik serta organisasi nir laba lainnya menerapkan SR level 2 dan tiga diatas akan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan dengan sendirinya akan dapat mengentaskan kemiskinan dipermukaan bumi Indonesia.

Rabu, 30 November 2011

Manipulasi Stimulus Ekonomi

Pemerintah kembali memperlihatkan sikap yang sangat memprihatinkan dalam menghadapi krisis ekonomi. Setiap minggu pemerintah merevisi jumlah stimulus yang akan diberikan, sedangkan secara spesifik rincian penggunaan dana stimulus juga belum jelas.

Hal itu berbeda dengan negara-negara lain, sebut saja Thailand, Singapura, Australia, AS, dan Jerman yang secara detail sudah menetapkan jumlah anggaran yang dibutuhkan (walau sebagian masih menunggu persetujuan parlemen/kongres).

Terakhir, pemerintah menganggarkan Rp 71 triliun dana stimulus, yang terbagi dalam dua klasifikasi. Pertama, Rp 43 triliun merupakan dana stimulus tidak langsung dalam wujud penghematan pembayaran pajak dari tarif baru PPh badan, orang pribadi, dan pendapatan tidak kena pajak (PTKP).

Kedua, dana stimulus langsung berbentuk belanja langsung, penurunan harga solar, belanja infrastruktur, perluasan PNPM, dan lain-lain (Jawa Pos, 7/2/2009).

Manipulasi Stimulus

Fakta yang sulit ditutup-tutupi ialah program stimulus ekonomi sarat dengan kepentingan politik. Pertama, besaran stimulus ekonomi sengaja di "mark up" seolah itu merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah untuk melindungi kehidupan masyarakat.

Celakanya, pemerintah tidak bisa merinci untuk kepentingan apa saja dana stimulus itu dipakai. Dengan demikian, sulit dihindari kesan bahwa perubahan besaran dana stimulus ekonomi hanya merupakan cara pemerintah membungkus agenda politik di balik itu.

Demikian pula, defisit APBN yang dibuat sangat besar, Rp 132,1 triliun (2,5 persen dari PDB), dipromosikan sebagai konsekuensi pembengkakan stimulus ekonomi (selain akibat penurunan penerimaan negara).

Model penanganan krisis semacam itu jelas tidak bertanggung jawab karena memberikan harapan kosong kepada masyarakat. Pada akhir tahun nanti, hampir pasti pemerintah tidak akan berhasil merealisasikan defisit sebesar itu karena kapasitas yang terbatas.

Kedua, sebagian stimulus ekonomi sebesar itu sebenarnya merupakan manipulasi angka yang bisa diputarbalikkan. Dana Rp 43 triliun dalam bentuk penghematan pembayaran pajak tidak bisa disebut sebagai instrumen stimulus ekonomi untuk menghadapi krisis. Sebab, penggodokan penghematan pembayaran pajak tersebut dilakukan sejak lama sehingga krisis terjadi atau tidak program itu tetap berlangsung. Fakta tersebut yang tidak diketahui publik sehingga terkesan program itu didesain untuk menyikapi krisis ekonomi.

Ketiga, dana stimulus tidak langsung belum tentu memicu pergerakan kegiatan ekonomi karena para pembayar pajak merupakan orang dari golongan menengah/atas yang sudah berada pada level "saving-taker". Artinya, penghematan pajak belum tentu digunakan belanja atau investasi. Itu tentu berbeda dengan stimulus langsung ke masyarakat yang pasti akan digunakan belanja. Manipulasi itulah yang terjadi atas paket stimulus pemerintah.

Desain Stimulus Ekonomi

Secara umum terdapat dua jenis stimulus yang diperlukan secepatnya diberikan pemerintah kepada rakyat, walau di antara keduanya tidak bisa dibedakan secara ketat. Pertama, stimulus sosial. Program stimulus sosial itu diberikan tanpa syarat dan fokus kepada masyarakat yang paling dirugikan oleh krisis ekonomi.

Dalam hal ini, salah satu cluster masyarakat yang pasti diguncang krisis ekonomi adalah penganggur baru, khususnya yang sebelumnya menjadi buruh pabrik, sektor informal, atau usaha mikro/kecil.

Karakteristik penganggur itu jelas berbeda dengan orang-orang yang tumbang akibat permainan saham di pasar modal. Pada kaum penganggur tersebut, meski mereka terguncang kerugian finansial yang besar, dengan kekuataan dana tersisa dan tingkat keterampilan/pendidikan yang memadai situasinya tidak terlalu parah. Sebaliknya, penganggur dari kelompok bawah wajib mendapatkan santunan sosial sebagai pelampung sementara kehidupannya.

Kedua, stimulus ekonomi. Pemetaan stimulus ekonomi memerlukan tingkat presisi yang tinggi untuk mencapai dua hal sekaligus: targetnya fokus sekaligus memacu perekonomian. Untuk setiap fokus target yang hendak diberi stimulus, mesti diketahui kebutuhan dan prospek keberhasilannya sehingga besaran stimulus harus tepat jumlah.

Dari pemetaaan itulah, perlu dihindari model stimulus ekonomi yang sifatnya tidak langsung. Bagi sektor industri yang berorientasi ekspor, stimulus keringanan pajak (badan) mungkin bermanfaat, tapi belum tentu mendongkrak kegiatan ekonomi.

Karena itu, stimulus lebih baik diberikan dalam wujud bantuan kredit ekspor atau subsidi bahan baku sehingga terdapat pontensi peningkatan produksi. Sedangkan bagi usaha mikro/kecil dan sektor informal, disiapkan crash program yang secara sistematis berjalan selama krisis berlangsung, misalnya keterlibatan dalam proyek infrastruktur.

Selebihnya, tidak boleh dilupakan bahwa stimulus ekonomi yang hendak dilakukan harus memiliki makna investasi ke depan, bukan mengompensasi pengerutan ekonomi.

Di sinilah pentingnya menggandengkan stimulus ekonomi dengan prioritas perekonomian di masa depan. Salah satu prioritas yang strategis adalah harapan tercapainya ketahanan pangan sehingga sebagian stimulus ekonomi digunakan untuk melakukan investasi ke sektor pertanian, mulai perbaikan atau pembangunan irigasi, penyediaan bibit dan pupuk, hingga distribusi lahan kepada petani gurem.

Sebagian rencana tersebut sudah diagendakan pemerintah, misalnya perbaikan irigasi, tetapi belum menyentuh pada kepemilikan aset produktif, yakni tanah. Jika berani masuk sampai level itu, pemerintah telah memberikan bibit kemakmuran dan komitmen yang utuh kepada rakyat.

Petani dan Arah Kebijakan untuk Masa Depan

Mungkin tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa nasib petani sering menjadi kelompok yang dirugikan. Petani merasa menjerit ketika harga gabah yang mereka jual tidak sebanding dengan harga pupuk yang mereka beli, harga pupuk dari tahun ketahun semakin melambung tinggi dan harga gabah malahan sebaliknya. Jeritan kaum petani merupakan suatu perjalanan panjang dalam kehidupannya.

Bukan itu saja bahkan dalam kerangka yang lebih luas petani selalu menjadi objek segala macam kebijakan, dan jarang sekali menjadi subjek dalam kebijakan tersebut. Sebut saja misalnya kaum petani jarang dikutsertakan dalam menentukan kebijakan apa yang seharusnya dilakukan untuk merubah nasibnya sendiri. Tak jarang pula yang terjadi kebijakan akan dilaksanakan sesuai dengan “pesanan atasan proyek” sampai pada persoalan untung ruginya. Kaum petani akan menjadi persoalan, apabila dihadapkan pada suatu kebijakan yang telah dievaluasi. Kesemua itu telah mewarnai dunia kaum para petani tersebut.

Kalau kita memahami kehidupannya terlihat bahwa segala hal ikhwal disekitar mereka akan sangat sulit ditebak. Sehingga untuk memahami mereka sesungguhnya perlu pencermatan serta pemahaman yang seksama. Ketika ada kematian di kampuangnya mereka mengorban kepentingannya untuk tidak bekerja guna membantu orang yang ditimpa musibah tersebut begitu juga dengan acara pesta-pesta lainnya. Mungkin melihat hal tersebut maka dalam melihat sikap petani khususnya di Asia Tengara, James Scott (1990) mengatakan bahwa mereka lebih mendasari tindakan berdasarkan kepada pinsip moral. Keputusan penting dalam kegiatan ekonomi maupun sosial didasarkan pada moral subsistensi bukan atas prinsi-prinsip rasional.

Ungkapan dari Scott tersebut, selanjutnya didukung oleh Boeke dan Geertz. Mereka melihat aspek moral sangat mendominir kehidupan masyarakat petani. Bagi Boeke petani tradisional di Indonesia tidak mempunyai rasionalitas ekonomi, rasional mereka lebih berdasarkan pada kepentingan sosial yang lebih dominan dan paling menonjol diantara sekian banyak kepentingan. Hal inilah yang menyebabkan kenapa kehidupan petani tidak begitu baik. Menurut Boeke pembangunan pertanian dan pedesaan berjalan lambat karena pada dasarnya petani lebih konservatif dan tidak kreatif. Lebih-lebih petani kecil, jadi kemiskinan pedesaan bersumber pada kelambanan petani sendiri.

Pandangan diatas baik itu Scoot, Boeke dan Geertz dibantah oleh Samuel Popkin (1989), menurut Popkin petani tradisional di Asia Tengara melakukan tindakan ekonomi atas dasar prinsip yang rasional. Samuel Popkin melihat bahwa petani sesungguhnya adalah individu yang rasional, seperti orang lain ia juga inggin kaya. Dia yakni bila fasilitas yang selama ini dikelola oleh pemerintah dibuat lebih terbuka maka banyak petani yang akan dapat mengambil manfaat dari hal tersebut. Pandangan Popkin tersebut senada dengan pandangan ahli sosiologi interpretatif tentang manusia, manusia adalah makhluk yang berpikir, aktor yang kreatif dari realitas sosial, realitas petani sekarang terjadi karena adanya interpretasi dari stimulus lingkungan yang dihadapinya.

Kalau kita renungkan bahwa pandangan Popkin tersebut ada juga benarnya, kadang kalau kita tak habis pikir begitu banyak sekat-sekat yang membatasi para petani tersebut untuk maju. Bukan seperti yang disangsikan oleh Boeke dimana pada dasarnya petani lebih konservatif dan tidak kreatif. Lebih-lebih petani kecil, jadi kemiskinan pedesaan bersumber pada kelambanan petani sendiri. Namun menurut Popkin dimana faktor eksternal yang lebih menonjol dalam memahami kenapa petani selalu hidupnya dirundung malang. Popkin melihat bahwa fasilitas yang selama ini dikelola oleh pemerintah dibuat lebih terbuka maka banyak petani yang akan dapat mengambil manfaat dari hal tersebut.

Perdebatan antara kubu Scoot dan kawan-kawan dan Popkin akan tidak berkesudahan bila kita hanya sekedar memahami petani dalam ruang lingkup tersebut. Namun perlu yang namanya aksi nyata untuk membuat mereka sejahtera. Penghayatan terhadap kedua prinsip tersebut dapat kita jadikan pijakan kebijaksanaan dalam membangun masyarakat yang hidup dipedesaan terutama para petani.

Fenomena Dewasa Ini

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya tinggal dipedesaan, petani merupakan golongan terbesar dalam cakrawala pedesaan tersebut akan selalu menjadi perhatian penting dalam persoalan kebijakan itu sendiri. Sejalan dengan itu persoalan kedepan yang dihadapi oleh petani tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama, dari segi taraf hidup, petani masih digolongkan kedalam taraf yang memprihatinkan. Hal ini tidak dapat kita pungkiri lagi, sebagai negara agraris petani di Indonesia merupakan sosok petani yang kadang kala banyak terugikan oleh kebijakan dari pada keuntungan. Buktinya saja, coba kira renungkan betapa tingginya harga pupuk, obat-obatan untuk kebutuhan pertanian mereka . Harga tersebut tidak seimbang dengan harga jual gabah yang mereka punyai. Apakah kesemuanya itu kesalahan petani atau ada unsure lain. Jawabnya mungkin akibat unsure luar, seperti kebijakan itu sendiri yang menyebabkan petani bertambah pada tingkat taraf hidup yang memprihatinkan.
Kedua, dari segi sumberdaya manusia. Dunia petani seolah-olah dunia yang unik bila dibandingkan dengan dunia pedagang, pegawai, penguasaha dan sebagainya. Dunia petani akan selalu dibayang-bayangi oleh kehidupan dengan penuh kesederhanaan, pendidikan yang rendah bila dibandingkan dengan daerah perkotaan. Argumen tersebut nampaknya tidak terbantahkan, walaupun ada pada daerah-daerah tertentu. Itu hanya merupakan suatu kekecualian. Namun banyak dari kehidupan petani kita yang memiliki sumber daya manusia yang tergolong rendah.

Ketiga, dalam proses demokrasi saat sekarang ini petani yang merupakan golongan mayoritas penduduk Indonesia akan menjadi objek bagi segelintir orang yang mengatas namakan seorang “ penolong “ petani, baik sebagai seorang individu, organisasi sampai kepada partai politik tertentu. Hal tersebut sampai sekarang ini masih berjalan di Negara kita ini.

Apa Yang Harus Dilakukan Untuk Petani Kedepan ??

Melihat persoalan yang dihadapi oleh petani kedepan begitu komplek, pertanyaan kita saat sekarang ini adalah apakah masih ada rasa prihatin kita terhadap petani. Seperti judul tulisan ini. Jawabnya mutlak harus, karena begitu pentingnya untuk meningkatkan kesejahteraan golongan ini. Menurut penulis ada beberapa hal yang harus dilaksanakan dalam meningkatkan kesejahteraan petani tersebut yakni :

Pertama, perlunya kebijakan yang memihak kepada nasib petani itu sendiri. Petani mulailah memperhatikan kondisi riil di lapangan apa yang sesungguhnya yang terjadi, apa yang mereka butuhkan dalam kehidupan mereka. Mulailah tidak membuat kebijakan yang ditulis diatas meja tanpa melihat kondisi riil dilapangan. Kebutuhan yang mendesak saat sekarang ini adalah bagaimana memperhitungkan kebutuhan pokok mereka bias tercapai dengan harga jual mereka. Misalnya saja harga pupuk, obat-obatan yang mereka butuhkan bias rendah sedangkan harga jual gabah bias dinaikkan. Kondisi ini perlu menginggat ketergantungan mereka akan hal tersebut sangat tinggi sekali. Selama kondisi terabaikan oleh kebijakan maka selama itu pula nasib petani akan seperti ini juga.

Kedua, perlu kiranya penguatan posisi petani baik dalam organisasi yang bersifat formal maupun informal. Saat sekarang ini merupakan saat demam-demamnya anak bangsa ini akan pemilihan umum. Sesungguhnya merupakan suatu momentum terbaik bagi partai politik untuk meraup suara dari para petani tersebut karena jumlah mereka yang mayoritas. Tetapi bagi partai politik akan merupakan suatu kenaifan bila hanya inggin mengantonggi suara dari para petani tapi tidak mensejahterakan bila partainya akan menang.

Ketiga, menghilangkan suatu tendensi yang bersifat negatif pada masyarakat pedesaan itu sendiri. Kenapa hal tersebut perlu menginggat selama ini yang terjadi adalah bahwa sebagian kita mengagap bahwa para petani memiliki mentalitet yang rendah. Seperti pada masyarakat Jawa kita kenal istilah nrimo saja (pasrah saja. Pertanyaan kita sekarang apakah halnya demikian adanya, mungkin kalau kita terpengaruh serta menganut prinsip Scott mungkin jawabnya ia, namun kalau kita menganut prinsip Popkin maka jawabanya tidak.
Namun realitas dilapangan memperlihatkan bahwa sesungguhnya para petani sangat tanggap terhadap sesuatu hal terutama yang berkaitan dengan kelangsungan mereka. Sejarah telah membuktikan kepada kita, bagaimana petani tersebut merespon keadaannya seperti dalam disertasinya Sartono Kartodirjo (1973) yang sangat monumental dengan judul Pemberontakan Petani Banten. Pemberontakan tersebut sebagai bentuk gerakan protes yang salah satunya tidak terlepas dari adanya penguasaan atas modal pokoknya yaitu tanah, mereka merasa dirugikan oleh pemerintah kolonial.

Hipotesa Sartono Kartodirjo boleh dikatakan digarisbawahi oleh teori Scoot (Tjondronegoro,1999). Mengingat sikap petani yang demikian, kita menginginkan perbaikan nasib hidupnya harus mengerti dahulu sikap kehati-hatian petani itu diakibatkan oleh ketidakpastian tentang resiko. Setiap usaha atau pendekatan kepada petani miskin yang akan meningkatkan resiko, pada akhirnya akan mencapai titik yang membuat petani miskin akan memberontak, karena terus hidup dalam keadaan dipaksankan dengan resiko tinggi tidak ada artinya lagi. Mati, sebagai resiko memberontak, berimbang dengan resioko yang meningkat selama hidup. Di negara kita terjadi protes dan perlawanan dari petani terhadap pemajakan yang terlalu berat, sumbangan untuk penguasa, dan curahan tenaga petani kepada tuan tanah misalnya.

Reaksi petani memang tidak selalu langsung melawan. Ada pula gerakan yang menghindari tekanan-tekanan dari atas tadi dengan lari menjauhkan diri dari pusat kekuasaan dan pinghisapan. Di Jawa ada contohnya dalam gerakan Samin (Saminisme), nama seorang petani yang memimpin gerakan protes dengan mengasingkan diri (Kartodirjo, 1973). Mungkin saja petani sekarang bukan saja mengasingkan diri namun bisa melawan.

Keempat, dari segi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah haruslah bersifat terbuka sehingga dengan hal tersebut akan lebih banyak petani yang mengambil keuntungan dari hal tersebut. Kebijakan tersebut tidak lagi merugikan para petani namun akan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

Sesungguhnya berbicara masalah kebijakan, perubahan terhadap kebijakan yang selama ini dilakukan terutama pada masa orde baru yakni kebijakan kebijakan yang bersifat top-down yakni kebijakan yang berasal dari atas, tanpa memperhatikan aspirasi dari bawah-masyarakat. Kebijakan tersebut haruslah dirobah dengan kebijakan bottom-up suatu bentuk kebijakan dari bawah yang memperhatikan kepentingan masyarakat. Suatu kebijakan yang sangat berarti bila dilaksanakan.

Akhirnya kedepan, bagi setiap komponen yang ada di negara kita ini. Mulailah sadar akan perlunya melihat kondisi para petani kita saat sekarang ini. Mari kita tumbuhkan rasa prihatin kita terhadap nasib petani tersebut. Dengan adanya rasanya prihatin kita serta diiring dengan kebijakan, langkah riil dilapangan kedepan nantinya kehidupan petani akan lebih baik.

Sampah Jadi Rupiah

Masih soal hemat dan hebat. Kali ini, kita fokus pada fenomena sampah jadi rupiah. Hmm, apa maksudnya? Tanpa anda tanya sekalipun, fenomena ini pasti kami jelaskan. Begini ceritanya. Sampah yang biasanya dibuang begitu saja, ternyata kalau sampai di tangan orang yang kreatif, bisa berubah menjadi rupiah. Mau contoh? Adalah Yuliastoni, seorang entrepreneur dari Jawa Timur, yang memanfaatkan bulu-bulu angsa sisa pembuatan shuttle cock sejak 2003.
Setelah dikeringkan dan diimbuh warna, bulu-bulu angsa itu diolahnya menjadi hiasan yang apik dan menarik berbentuk kupu-kupu. Dan hadirlah pemanis ruangan, bros pakaian, dan hiasan lemari es.

Sebelumnya Yuliastoni berkubang di pembuatan kapal tradisional dari kayu mahoni yang dimasukkan ke dalam botol. Belakangan bisnis yang ditekuninya sekitar 10 tahun ini dikerubuti pesaing. Terpaksalah ia melirik alternatif dan pilihannya jatuh pada bulu-bulu angsa. Selain kebutuhan lokal, ia sempat memasok kebutuhan mancanegara, di antaranya Turki, Singapura, dan Malaysia. Tampak sudah, di tangan orang yang kreatif, sampah bisa berubah menjadi rupiah. Sekarang kita tengok pula pohon pisang. Orang Jawa menyebutnya debok. Apa istimewanya? Anda tahu sendiri kan, selama ini begitu buah pisang dipetik oleh pemiliknya, pohon pisang akan ditelantarkan begitu saja, sampai-sampai membusuk.

Padahal, siapa sangka itu bisa disulap menjadi tas dan dompet. Setidaknya, inilah yang dilakoni oleh Yanto Suhardani di Nganjuk, Jawa Timur, sejak 2004. Awalnya, pohon itu hanya dikuliti dan dijemur. Tetapi, dengan begini hasilnya tidak bisa bertahan lama. Paling banter hanya dua tahun. Untunglah, Yanto menemukan cara anyar. Apa itu? Selain dikuliti dan dijemur, pohon itu lalu dibilas dengan sabun hingga bersih dari getah. Kemudian dijemur kembali sampai kering, terus dibikin jadi tas dan dompet, yang bisa bertahan sampai sepuluh tahun.

Untuk pemasaran, Yanto condong menjajal pendekatan getok tular alami, selain memajangnya di salah satu supermarket di Surabaya. Anda mau bagaimana hasilnya? Sekelompok ibu-ibu PKK bahkan sempat memesan ratusan tas. Wow! Tak pelak lagi, sampah bisa berubah menjadi rupiah di tangan orang yang kreatif. Lain halnya di Malang. Seorang laki-laki lanjut usia bernama Soekarno membesut wayang kulit dari kertas bekas pembungkus semen yang disebut seplit. Bukan dari kulit binatang seperti kebanyakan. “Yah, saya kan butuh makan. Sementara, modal sudah tidak ada lagi. Kebetulan saya suka wayang,” akunya jujur. Memang, pembungkus semen lebih murah ketimbang kulit binatang.

Anda tidak bakal menemukan bahan baku berupa seplit ini di toko mana pun. Sebabnya, Soekarno sendiri yang meramunya. Serunya, kehadiran wayang seplit ini sempat diakui pemerhati budaya wayang dari Denmark, Belanda, dan Australia. Bahkan seorang seniman Belanda bernama Coor Muller menulis di buku tamu di tempatnya, “You are the real artist! Thank you for your patience to tell me about the meaning of wayang”. Perhatian juga datang dari sederet perwira tinggi TNI Orde Baru. Lagi-lagi terbukti, di tangan orang yang kreatif, sampah bisa berubah menjadi rupiah.

Adapun tokoh-tokoh wayang yang sering dipesan beberapa seniman dari mancanegara antara lain, Kumbo Karno, Anoman, Broto Seno, Punto Dewo dan Punokawan. Keteladanan dari tiga sosok di atas kembali menegaskan bahwa terobosan tidak harus berujung dengan pemborosan. Berbekal sedikit kreativitas, sampah pun tidak ada ubahnya seperti rupiah. Ini baru hemat! Ini baru hebat! Kami yakin Anda tidak akan sanggup membantah.

Jangan Kalah di Masa Krisis

Menurut David C Mc Clelland, guru besar di Harvard University, Motif sosial dalam diri seseorang dapat dibedakan atas motif berprestasi (achievement), bersahabat (affiliation) dan berkuasa (power) yang kadar masing-masing motif tersebut berbeda bagi setiap manusia.

Motivasi merupakan rangsangan dari dalam (inner drive), gerakan hati (impulse) yang menyebabkan orang melakukan suatu tindakan. Motivasi juga bisa dijelaskan sebagai suatu dorongan untuk bertindak dalam memenuhi dan memuaskan suatu kebutuhan (a want) atau suatu tujuan (a goal).

Suatu penelitian yang dilakukan David C Mc Clelland menghasilkan suatu pengembangan atas teori tentang manusia dan motivasi. Dalam teorinya mengemukakan beberapa azas. Pertama, semua orang dewasa yang sehat memiliki suatu bak cadangan energi potensial yang besar.

Kedua, setiap orang dewasa memiliki sejumlah motif dasar atau kebutuhan yang dapat dipandang sebagai katup atau jalan keluar untuk menyalurkan dan mengatur aliran keluar dari energi potensial tersebut dari bak cadangan.

Ketiga, walaupun kebanyakan orang dewasa yang berasal dari kebudayaan tertentu memiliki susunan motif atau jalan keluar energi yang sama, namun mereka akan sangat berbeda dalam kekuatan relatif atau kesiapan berbagai motif tersebut.

Suatu motif yang kuat dapat diibaratkan sebagai sebuah katup atau jalan keluar energi yang terbuka dengan mudahnya dan memiliki suatu bukaan yang lebih besar bagi arus keluarnya energi.

Keempat, diwujudkan tidaknya suatu motif, yakni apa energi tersebut mengalir keluar melalui jalan keluar tersebut menjadi perilaku dan kerja yang bermanfaat. Kelima, karakteristik situasi tertentu akan membangun atau memacu berbagai motif, membuka berbagai katup atau jalan keluar energi. Keenam, karena motif yang berbeda dan situasi yang dapat diubah, maka pola perilaku sebagai akibat hasil pengenergian dapat berlainan satu dengan lainnya.

Dominasi motif seseorang dalam berprilaku dapat diramalkan dengan semakin tinggi motif tersebut semakin mantap perilaku yang akan diamati, yaitu orang yang memiliki motif prestasi yang tinggi akan memikul tanggung jawab pribadi, menggunakan umpan balik atas tindakannya, berperilaku yang menantang tetapi realistik (calculated moderate risk taking), bertindak dengan kreatif dan inovatif.

Orang yang memiliki motif kuasa yang tinggi akan menjadi anggota aktif dalam bidang politik setiap organisasi yang diikutinya, peka akan struktur hubungan saling mempengaruhi antar pribadi dalam setiap kelompok, mengumpulkan benda-benda atau objek serta bergabung dalam organisasi yang meninggikan harkat atau prestise, berusaha menolong orang lain tanpa diminta untuk berbuat demikian.

Motivasi yang dikatakan adalah fungsi motif dan situasi perlu ditingkatkan dan diketahui oleh masing masing orang dan untuk menciptakan atau mengambil peluang dalam situasi tertentu dewasa ini atau hari ini guna mencapai tujuan dalam kehidupan ini yang berbatas waktu baik jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.

Situasi ekonomi dunia hari ini, dalam pertemuan menteri keuangan G-20 di mana Indonesia turut serta tanggal 14 maret 2009 lalu, IMF mengubah prediksi pertumbuhan ekonomi global menjadi minus 0,5 persen hingga minus 1,5 persen.

Ini pasti berdampak kepada ekonomi Indonesia yang diperkirakan tumbuh 3,5 persen, begitu juga Singapura terpuruk menjadi minus 5 persen dan bahkan Amerika Serikat akan terpuruk menjadi minus 12 persen.

Apakah gerangan membuat ekonomi dunia mengalami krisis? Para ekonom mulai menganalisa dan sadar, bahwa ekonomi kapitalis terbukti tidak terkendali, bahkan dengan nafsu serakah akan hancur.

Bagaimana Mekanismenya?

Diawali pemahaman berdasarkan more is better than less dan survival of the fittest serta homo homini lupus secara tradisional bahwa perdagangan di mana harus ada barang yang dijual, ada uang di pembeli, ada permintaan yang riil, ada transaksi yang riil, ada gudang untuk menyimpan, bertemu dan bersepakat penjual dan pembeli, hari ini dirasa oleh mereka yang kaya raya tidak memadai lagi. Mereka beranggapan terlalu kecil margin yang diproleh dibanding kekayaan (asset) mereka.

Semua bursa komoditi yang ada di Amerika memperjualbelikan komoditi yang ada di negara lain. Begitu besar volume dan perdagangan yang tidak riil, penuh spekulatif dan rent seeking yang luar biasa tinggi dan kecepatan yang luar biasa, maka uang menjadi komoditi tidak lagi berfungsi sebagai alat pembayaran semata.

Uang menjadi barang dagangan. Hal ini dalam istilah ekonomi dikenal dengan Bubble ekonomi (Seperti busa sabun, air adalah sepertiganya), perdagangan yang riil tidak lebih sepertiganya. Barang dibeli melalui bursa hari ini guna dijual satu menit berikutnya dengan untung tidak wajar.

Krisis Global

Apa yang terjadi di AS menjadi suatu renungan dan hikmah bersama. Harga minyak dunia melonjak sampai 147 dolar AS per barel adalah ulah spekulan dengan keserakahan mengambil margin itu. Aksi spekulan dan bank-bank gelap yang melakukan transaksi keuangan yang penuh tipu daya dan menjadi akar dan sumber krisis global.

Mereka terjebak, bahwa dengan naiknya harga minyak, baik akibat naiknya harga energi yang substitusi maupun komplementer, harga kebutuhan lain masyarakat merangkak naik pula. Padahal penghasilan rakyat Amerika tidak elastis. Mereka mempunyai saleri relatif tetap dengan angka tertentu pada setiap level profesi.

Mudah-mudahan, sebagai bangsa dan negara yang besar, Indonesia tetap disegani. Apalagi perkembangan ekonominya termasuk dalam kelompok G-20, dan tahun 2030 Indonesia diprediksi menjadi 5 negara besar di dunia setelah AS, Cina, Jepang dan India.

Sabtu, 05 November 2011

INVESTASI DIPASAR MODAL BERKEMBANG

Pada era globalisasi saat ini, dimana hambatan-hambatan perekonomian semakin pudar, peralihan arus dana dari pihak yang surplus kepada yang defisit akan semakin cepat dan tanpa hambatan. Pasar Modal sebagai pintu investasi terhadap aliran dana dari pihak yang kelebihan kekayaan (surplus) kepada pihak yang kekurangan dana (defisit) berperan sebagai lembaga perantara keuangan. Investor disini adalah pihak yang surplus dalam kaitannya dengan keuangan.
Siapakah pihak-pihak surplus ini? Dalam kaitannya dalam investasi dan sumber dana yang digunakannya, investor dapat dibagi. Pertama, adalah investor domestik yaitu adalah investor yang berasal dari dalam negeri yang menyusun portofolio asetnya di pasar modal dalam negeri. Kedua adalah investor asing, yaitu investor yang memiliki sejumlah dana dari luar negeri yang menyusun portofolio asetnya pada sejumlah negara yang berbeda.
Investasi asing yang datang ke negara-negara lain sebenarnya memiliki motif klasik yang meliputi, motif mencari bahan mentah atau sumber daya alam, mencari pasar baru dan meminimalkan biaya. Dari motif klasik tersebut kadangkala investor memiliki motif lain yaitu motif mengembangkan teknologi. Investor menyalurkan dananya ke negara lain biasanya tidak hanya membawa satu motif saja tetapi bisa karena beberapa motif sekaligus.
Paling tidak ada empat cara investor dapat masuk ke suatu negara: distressed asset investment, strategic investment, direct investment dan portfolio investment. Distressed asset investment adalah investasi yang dilakukan untuk mendapatkan kepemilikan atau membeli hutang suatu perusahaan dalam kesulitan keuangan. Kedua, strategic investment secara umum investor asing mengakuisisi perusahaan yang memiliki pangsa pasar cukup luas dan berada dalam segmen bisnis serta faktor lokasi yang mendukung strategi ekspansi perusahaan investor. Ketiga yakni investasi langsung (direct investment) biasanya berlangsung pada sektor yang belum begitu berkembang, misalnya pembangunan yang sarat teknologi atau pembangunan di sektor otomotif, biasanya perusahaan. Keempat adalah portofolio investment yaitu investasi dalam surat hutang dan saham di pasar modal.
Portofolio investment inilah yang selama ini menjadi perhatian banyak praktisi di bidang pasar modal. Mengapa demikian? Karena jenis investor ini merupakan yang paling cepat memindahkan eksposurnya di suatu negara jika terjadi gejolak (politik, ekonomi, kurs) yang diintrepretasikan sebagai ketidakpastian. Mereka juga adalah investor yang memiliki pilihan paling luas dibanding ke tiga jenis investor di atas. Sehingga jika ada kejadian tertentu baik secara makro, sekoral ataupun regulasi pemerintah, maka investor ini adalah yang lebih rentan dan sensitif terhadap refleksi atas informasi tersebut. Besarnya nilai investasi asing yang masuk atau keluar, praktis juga akan mempengaruhi pasar secara keseluruhan akibat adanya volume transaksi yang besar.
Peranan modal asing dalam pembangunan negara telah lama diperbincangkan oleh para ahli ekonomi pembangunan. Secara garis besar menurut Chereney dan Carter yaitu pertama, sumber dana eksternal (modal asing) dapat dimanfaatkan oleh emerging country sebagai dasar untuk mempercepat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang meningkat perlu diikuti dengan perubahan struktur produksi dan perdagangan. Ketiga, modal asing dapat berperan penting dalam mobilisasi dana maupun transformasi struktural. Keempat, kebutuhan akan modal asing menjadi menurun segera setelah perubahan struktural benar-benar terjadi (meskipun modal asing di masa selanjutnya lebih produktif).

INFLASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA

Sebagai gejala historis maka tingkat inflasi di Indonesia lebih tinggi daripada di negara tetangga ASEAN seperti Thailand dan Malaysia. Kinerja ekonomi dan laju pertumbuhan PDB di Thailand dan Malaysia lebih tinggi daripada di Indonesia. Di Asia Tenggara Indonesia lebih mirip Filipina. Inflasi di Filipina juga lebih tinggi (sedikit) daripada di Thailand dan Malaysia, dan laju pertumbuhan ekonomi Filipina juga di bawah Thailand dan Malaysia.
Mungkin Filipina lebih baik sedikit. Filipina sesudah perang dunia kedua sudah mempunyai pendapatan per kapita yang lebih tinggi daripada kebanyakan negara ASEAN, akan tetapi sesudah itu di lampaui oleh Thailand dan Malaysia. Sekarang pendapatan orang di Filipina mungkin masih lebih tinggi sedikit daripada di Indonesia, akan tetapi perbedaannya tidak banyak. Filipina sering disebut “the sick man of Asia”, dan akar penyakitnya ada di struktur sosialnya. Tetapi struktur sosial di Indonesia lain daripada di Filipina, yang dikuasai oleh sekelompok tuan tanah yang besar, antara lain keluarga Presiden. Mungkin kelebihan di Malaysia dan Thailand (dibandingkan Indonesia) adalah peran unsur penduduk Tionghoanya di perekonomiannya lebih besar. Di Indonesia penduduk etnis Tionghoa juga menguasai ekonomi tetapi tidak punya pengaruh politik. Di Indonesia politik ada di tangan penduduk golongan pribumi yang mayoritas. Mungkin perbedaan ini menyebabkan kualitas politik ekonomi di Indonesia lain daripada di Thailand dan Malaysia. Maka mungkin juga akar inflasi yang tinggi ada di keadaan sosial-politik ini.

Golongan pribumi adalah mayoritas akan tetapi yang berpendapatannya lebih rendah, Salah suatu ciri orang miskin adalah punya nafsu mengkonsumsi lebih banyak dibandingkan pendapatan riilnya. Kalau masyarakat mau mengeluarkan uang lebih banyak daripada nilai produksinya maka harga-harga akan naik. Inilah sumber inflasi di Indonesia.

Inflasi di Indonesia di zaman Suharto pun lebih tinggi daripada di Malaysia dan Thailand, walaupun tingkat inflasi di zaman Suharto sudah jauh lebih rendah daripada di zaman Bung Karno. Itu akibat perubahan policy dari team ekonomi yang dikendalikan oleh Prof. Widjojo dan Ali Wardhana. Mereka berhasil mengurangi inflasi yang sebelumnya ratusan persen setahun dan merupakan runaway inflation. Senjatanmya adalah balanced budget, anggaran pemerintah yang berimbang.

Di zaman Orde Baru itu maka belum ada ketentuan bahwa Bank Indonesia mempunyai misi utama menjaga nilai rupiah, alias pengekangan inflasi. Baru setelah Reformasi tahun 1998 ketentuan demikian dituangkan dalam undang-undang yang menjaga independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Ini banyak membantu untuk mengurangi inflasi.

Kebijakan anggaran belanja pemerintah menjadi sumber inflasi karena prinsip anggaran belanja yang berimbang masih dipertahankan. Akan tetapi, dalam praktek ini belum merupakan jaminan. APBN yang meningkat, walaupun tetap berimbang, dampaknya inflator. Prinsip anggaran berimbang tidak boleh dipegang terlalu kaku. Misalnya, akhir tahun 2005 ada kelebihan penerimaan besar karena sebagian subsidi BBM dihapus. Jumlah ini lalu “dipaksakan” menjadi pengeluaran pemerintah atas nama anggaran yang berimbang. Policy demikian ikut meniup inflasi. Sebetulnya anggaran belanja pemerintah harus diperbolehkan mengumpulkan surplus yang dampaknya akan deflator.

Akan tetapi, selalu ada tekanan dari masyarakat agar pemerintah mengeluarkan uang lebih banyak untuk pembangunan, atau untuk membantu sektor pendidikan dan kesehatan. Di sinilah pemerintah terjebak “gejala orang miskin” yang selalu mau hidup di atas kemampuan penghasilannya.

Idée fix masyarakat adalah kalau pemerintah meningkatkan pengeluaranya untuk pembangunan maka laju pertumbuhan ekonomi akan naik. Ini salah pikir. Yang lebih menentukan tingkat laju pertumbuhan ekonomi adalah total investasi di masyarakat, termasuk dari swasta dalam dan luar negeri. Jumlah ini tidak akan optimal kalau iklim moneternya serba inflator, yang mengganggu stabilitas ekonomi dan menambah resiko.
Kemakmuran yang dibawa oleh inflasi adalah semu. Orang merasa lebih kaya oleh karena pegang uang lebih banyak. Akan tetapi nilai uang merosot sehingga akhirnya orang atau masyarakat itu menjadi lebih miskin.

Ketergantungan APBN Terhadap Utang Masih Tinggi

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terhadap utang masih tinggi. Namun rasio utang terhadap produk domestik regional bruto Indonesia terus menunjukkan perbaikan
Berdasarkan data hingga Juni 2011, total utang luar negeri Indonesia sebesar 223 miliar dolar AS. Utang tersebut terbagi, untuk pemerintah sebesar 128,1 miliar dolar AS sedangkan swasta 94,9 miliar dolar AS.
Sementara rasio utang pada Juni 2011 terhadap PDRB 28,8 persen; turun dibanding tahun 2006 sebesar 35,9 persen. “PDRB Indonesia terus meningkat sementara rasio utang menurun, ini menunjukkan utang luar negeri Indonesia juga mengalami penurunan.
Utang yang dilakukan pihak swasta diantaranya untuk mendukung produksi dengan target ekspor maupun memenuhi kebutuhan dalam negeri. Utang pihak swasta di luar negeri disebabkan karena berbagai aspek. Diantaranya suku bunga yang lebih rendah, jaminan ketersediaan likuiditas dalam bentuk mata uang asing. Karena perbankan nasional banyak yang tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Sindikasi perbankan nasional untuk memperkuat ketersediaan mata uang asing juga tidak mudah karena masing-masing bank mempunyai dasar yang berbeda dan yang perlu diperhatikan adalah kalau utang itu untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri.
“Karena mereka minjam dalam bentuk valuta asing, dan mendapat bayaran dalam bentuk rupiah,” dan hal itu dapat menimbulkan ketidaksesuaian dalam pembayaran valuta asing sehingga Bank Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan, salah satunya berupa Devisa Hasil Ekspor (DHE).

Selasa, 01 November 2011

SunGard Hubungkan Investor Asing dengan Indonesia

Perusahaan yang bergerak di bidang teknologi informatika SunGard akan menyediakan akses bagi investor asing ke Bursa Efek Indonesia, bursa untuk ekuitas dan derivatif. Untuk itu, perusahaan ini telah membuka Pusat Jaringan Global SunGard (SGN) di Jakarta. SGN adalah informasi low-latency dan tata-rute jaringan yang menghubungkan lebih dari 2 ribu manajer aset dan 5 ribu pialang di 110 pasar di dunia.
Peluncuran SGN ini akan membantu SunGard menuju kepada meningkatnya tuntutan dari pelanggan Asia Pasifik kami untuk hubungan pasar langsung yang lebih besar.
SunGard akan meluaskan jaringan global yang akhirnya akan membantu perkembangan perdagangan secara elektronik. Sekaligus membantu pelanggan menemukan kesempatan bisnis baru. Dengan membuka SGN, perusahaan ini akan membantu investor asing mengirim pesanan ke pialang Indonesia dengan biaya yang efisien.
Terhadap hal ini, Direktur Teknologi Informatika dan Manajemen Risiko IDX, Adikin Basirun, menyebutkan, SGN merupakan suatu bentuk pengharagaan dari meningkatnya kekuatan pasar kapital di Indonesia, dan potensinya untuk menjadi pusat keuangan dunia.
SGN akan membantu IDX (Bursa Efek Indonesia) menawarkan bisnis baru dari investor internasional kepada para anggotanya dan menarik partisipan market baru dan investasi ke bursa.
Dengan adanya jaringan ini akan meningkatkan para investor asing akan semakin banyak menanam investasiya di Indonesia dan ini akan menjadikan Indonesia semakin meningkat perekonomiannya.
SunGard bisa membantu para investor mempermudah akses pengiriman pesan ke Indonesia dan ini menjadikan para investor asing merasa nyaman melakukan investasi karena aksesnya yang mudah dilakukan di Indonesia. Jaringan SGN sangat berpengaruh positif terhadap perkembangan perekonomian kita dan membantu kekuatan pasar menjadi pusat keuangan dunia.

Lepas Saham Blok Anaguid, Medco Kantongi US$ 50,5 Juta

PT Medco Energi Tbk (MEDC) melalui anak perusahaannya, Medco Tunisia Holdings Ltd telah menyelesaikan penjualan seluruh saham Medco Tunisia Anaguid Limited (Medco Anaguid) kepada OMW (Tunesien) Production GmbH.

Penandatanganan Perjanjian Jual Beli Saham (PJBS) untuk menjual seluruh modal saham yang ditempatkan pada Medco Anaguid bernilai US$ 58 juta.

Penjualan saham Medco Anaguid tidak akan berdampak terhadap profil cadangan atau pendapatan potensial kami. Sebaliknya, hal itu menunjukkan strategi baru yang menekankan fokus dalam pendanaan dan pengembangan wilayah kerja minyak dan gas yang dioperasikan langsung oleh MedcoEnergi.

Nilai penjualan tersebut setelah dikurangi uang muka sebesar 10% dan nilai penyesuaian atas cash call yang diterima pada akhir Oktober 2011, perseroan akan menerima US$ 50,5 juta dari OMW pada 28 Oktober 2011.

Medco Tunisia menandatangani perjanjian jual beli saham Medco Anaguid dengan OMV pada 14 September 2011. Penjualan seluruh saham Medco Anaguid mengakibatkan seluruh 40% participant interest atas Anaguid Exploration Permit dan 20% participating interest atas Durra Concession (Blok Anaguid) yang dipegang oleh Medco Energi di Tunisia beralih ke OMV efektif pada 27 Oktober 2011.

Nilai transaksi tersebut sekitar 7,38% dari jumlah ekuitas perseroan berdasarkan laporan keuangan konsolidasi perseroan untuk periode 31 Desember 2010.

OMV merupakan perusahaan yang tidak memiliki hubungan afiliasi dengan perseroan maupun anggota komisaris, direksi, maka transaksi ini tidak termasuk dalam definisi transaksi afiliasi.

Meskipun DeGolyer McNaughton telah mensertifikasi cadangan kotor dan terduga dari Blok Anaguid sebesar 1,5 MMBOE pada 2010, namun perseroan tidak membukukan cadangan dari Blok Anaguid tersebut.

Maka dari itu, penjualan saham seluruh Medco Anaguid tidak akan memengaruhi jumlah cadangan 2P Medco Energi pada akhir tahun ini.

Penjualan saham Medco Anaguid akan mengakibatkan sedikit penurunan pada ekuitas dan memberikan tambahan kas yang berasal dari divestasi perseroan pada akhir 2011.

Tanjung Lesung Jadi Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata

Pemerintah akan mengejar target membangun Kawasan Ekonomi Khusus untuk pariwisata di 2011. Salah satu yang terbaru adalah Tanjung Lesung (Pandeglang Banten).
Investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan wilayah tersebut sebesar Rp 3,8 triliun.Di sana itu investasinya sekitar Rp 3,8 triliun. Apalagi jika nanti didukung dengan pembangunan Jembatan Selat Sunda. Jadi daerah situ bisa berkembang.
Dengan adanya pembangunan kawasan pariwisata di Tanjung Lesung tersebut, nantinya diharapkan investor asing dapat masuk ke wilayah tersebut.
Jadi itu pengembangnya orang dalam (investor lokal) supaya mereka mendorong investor luar negeri untuk masuk ke sana. Wilayah ini kan sifatnya pariwisata jadi diharapkan ada investasi untuk pembangunan hotel dan sebagainya.

Pihak investor juga berharap ada pembangunan jalan tol dari Serang. Meski keterangan terbaru dari Wakil Menteri Pekerjaan Umum menyampaikan pembangunan tol tersebut masih dalam pra studi kelayakan.

Seperti diketahui, pemerintah pada tahun ini menargetkan minimal dua wilayah Kawasan Ekonomi Khusus. Sejauh ini wilayah yang berpotensi adalah Sei Mangkei sebagai kawasan khusus industri hilir sawit dan Tanjung Lesung sebagai kawasan wisata

Jadi dari Pemda maupun badan usaha ada 65 daerah yang mengajukan jadi Kawasan Ekonomi Khusus, dan kita evaluasi itu bersama tim. Dari 65 wilayah tersebut ada 8 yang penuhi kriteria dan anda sudah tahu di 2011 ini kita targetkan minimal dua. Sementara ini Sei Mangkei (KEK industri hilir sawit) dan Tanjung Lesung yang berpotensi menjadi KEK pariwisata di 2011.

Tapi keputusan dua wilayah tersebut masih bersifat sementara, karena memerlukan adanya peraturan pemerintah. Rencananya, pemerintah juga membidik wilayah lain untuk dikembangkan seperti wilayah Mandalika, dan juga Belitung, atau wilayah di Kalimantan. Di situ sudah kita indikasikan dalam MP3EI. Kita lihat memang daerah ini berpotensi.

Di Tanjung Lesung itu berbasis pada kawasan terpadu di areal 1.000 hektar lebih dan kita harapkan bisa membangun kawasan Selatan Banten yang tertinggal dan meningkatkan kesejahteraan di daerah itu.

Sedangkan di daerah yang berpotensial karena sudah ada bandara di sana dan investornya sudah sangat berminat. Di sana investasinya sampai US$ 3 miliar. Itu penting bagi gerbang Timur untuk pelabuhan dan kawasan industri juga.

Putus Asa

Ketika dada seorang insan memperdengarkan gemuruhnya kepada alam, segala bentuk obsesi terungkap kala itu. Tentang nafas dan stamina kehidupan, dinamika, dan yang jauh lebih penting: tentang perlawanan terhadap ketidak-mungkinan; dia ingin menembus masa dengan peluru cita-citanya; dia tak ingin berhenti di sini; ia ingin terus mengabdi, maka ia berkata, “Aku mau hidup seribu tahun lagi’.
Bagi yang mengerti tentu akan melihat hidup ini hanya bagaikan permainan. Hidup juga adalah sebuah sebuah sistem yang dahsyat yang menaungi anak adam dari dulu hingga kini dan entah sampai kapan. Namun sedahsyat apa pun sistem ini ia tetap hanyalah permainan kecil diantara permainan-permainan yang lebih tak terkatakan dalam semesta. Sebuah pemainan dimana setiap pesertanya sedang diajak untuk menanti kematian dengan performance terbaik yang mereka miliki.
Dalam permainan yang namanya berhasil dan gagal, menang dan kalah tentu ada. Bahkan banyak yang berkata bahwa “hidup hanya menunda kekalahan”.Kita boleh gagal, kita boleh salah, pun boleh tertimpa musibah. Namun kita tidak boleh kalah. Setiap kegagalan tadi hendaknya kita jadikan cemeti untuk membangkitkan semangat baru. Kita tidak boleh menyerah kepada kelemahan kita; kita tidak boleh menyerah kepada tantangn hidup, kita juga tak boleh menyerah kepada keterbatasan kita. Kita harus tetap melawan, menembus gelap, supaya kita bisa menjemput fajar. Sebab keberhasilan adalah piala yang direbut, bukan kado yang dihadiahkan begitu saja. Sedangkan menyerah dalam keputusasaan bukanlah bagian dari proses memperebutkan keberhasilan itu. Bahkan ia adalah racun yang menggerogoti cita-cita. Sehingga jadilah tubuh manusia tak lebih seperti bangkai yang mulai membusuk.
Maka tak ada alasan bagi kita untuk berputus-asa. Walau kita melihat potensi yg ada saat ini hanya bagaikan pedang tajam nan tangguh di tangan seorang pengecut yang tewas dengan pedangnya sendiri. Walau kita saat ini dijajah dengan potensi kita sendiri. Saat ini kita tengah gagal. Belum berhasil merubah bongkahan es potensi itu, agar ia menjelma jadi gelombang dahsyat yang mengarusi peradaban lain. Namun ingat, kita belum kalah dan tak boleh kalah. Tak pernah pula kita kenal yang namanya putus-asa karena pernah gagal. Bagi kita kegagalan hanyalah semacam pemantik untuk meledakkan seluruh potensi baru yang terpendam dalam diri kita.

“Menertawai” Masa Lalu

Sebaik apa pun seorang manusia itu dipandang oleh manusia lainnya ia tak ‘kan pernah menjadi malaikat, apalagi sosok yang patut disembah. Karena dalam dirinya, bukan cuma ada nalar dan nurani, di sana juga ada naluri. Dalam dirinya, bukan Cuma ada akal dan iman, namun juga ada syahwat. Sungguh, bukan cuma kekuatan dan kebijakasanaan yang ada di sana, namun juga kelemahan dan ketergelinciran serta berbagai keterbatasan. Ia tak ‘kan jadi sempurna dalam pengertiannya yang tanpa celah. Ia hanya jadi sempurna secara relatif sebagai manusia. Itulah batas akhirnya. Dan hidup, bagi mereka yang bijak, adalah perjalanan menuju ke sana. Tak ‘kan ada titik. Yang ada hanya koma, sampai kematian menutup perjalanan itu.
Ketika sedang duduk sendiri menghirup segarnya udara pagi, atau ketika berjalan kala senja menyaksikan bunga-bunga yang tengah mekar di pinggir rumah, atau ketika kita tenggelam dalam samudera perenungan dan instrospeksi menjelang tidur, kita sering tersenyum sendiri menatap masa lalu. Tak jarang, tawa kecil kita meledak dalam sunyi-gelapnya malam. Kala itu kita geli sendiri, malu pada waktu, pada manusia, pada Allah, karena dahulu kita pernah keliru, kita pernah salah bersikap, berkata-kata, kita…. pernah “tak merasa kita salah”. Tawa yang kadang beriring rintih tangis pengakuan. Dan setelah itu seakan ada yang berbisik genit ke telinga kesadaran kita: “Bodoh sekali kau dulu itu!”, katanya.
Lantas, apakah itu semua mampu buat kita tambah baik jadinya?! Tidak… Kar’na kesalahan tetaplah kesalahan sebelum ia diperbaiki atau dihapuskan, kekeliruan tetaplah kekeliruan sebelum ia dikoreksi, dan dosa tetaplah dosa sebelum ia ditaubati.
Maka benar juga kata orang-orang itu. “Lebih baik jadi mantan preman daripada mantan ustadz”. Apa sebabnya?!. Karena mantan preman -yang mungkin telah menjadi ustadz kini- adalah ia yang menertawai masa lalunya yang bodoh dan lucu sehingga akhirnya ia paham apa sejatinya makna hidup dan kehidupan. Sedangkan mantan “ustadz-ustadzan” -yang mungkin telah menjadi pendosa kini- adalah ia yang menjadi picik karena tak pernah mau berdialog dengan nuraninya sen..diri. Ke-ustadzan-nya dahulu hanyalah simbol yang dangkal, tanpa pernah ia coba membumikannya dalam kesadaran hidupnya. Lihatlah ia terperosok jauh sekali. Tapi kita berdoa, mudah-mudahan sebelum mati ia dapat “kembali”.
Beberapa waktu lalu Anda mungkin saja bertemu kembali dengan sahabat lama anda. Anggap saja namanya Budi. Dahulunya Anda anggap Budi adalah sampah bagi manusia. Kebiasaannya tak lain hanyalah bernafas -seringkali dengan “bantuan” asap rokok-, makan, tidur, menghabiskan harta orang tua, selalu mengucap “malas” untuk suatu yang bermanfaat dan tak berminat kecuali dalam urusan syahwat. Anda pernah menduga bahwa ia akan terus menghabiskan waktunya menuju ajal dengan selalu menyusahkan manusia di sekelilingnya.
Namun ternyata Anda terkaget-kaget tak menentu ketika pertemuan kembali itu. Apa yang terjadi?! Budi berubah kini. Hidupnya lebih cerah dari Anda. Bukan hanya masalah materi, tapi secara spiritual ia begitu hebat kini. Disaat Anda merasakan sempitnya hati karena jiwa yang kian kering gulita, ia datang memberikan Anda nasihat yang sejuk bagaikan embun di pagi hari. Disaat Anda galau dan bimbang bertanya-tanya maksud sebenarnya hidup dan kehidupan ini, ia datang dengan berbagai penjelasan yang membuat hati anda tenteram benderang. Awalnya Anda mungkin menolak, karena Anda merasa masa lalu Anda lebih baik darinya. Namun Anda lupa, bahwa Anda jarang sekali berintrospeksi, bahwa Anda tak pernah belajar dari kesalahan. Anda tersungkur. Dan harapan saya di masa depan Anda akan menertawai sikap Anda ini.
Sedangkan si Budi itu adalah pembelajar sejati, yang tak pernah ingin melewatkan sekecil apa pun kesalahan dalam hidupnya di masa lalu untuk dinobatkan menjadi guru dalam perjalanannya menuju masa depan. Tentu ada titik balik dalam hidupnya yang membuat menyadari kesalahannya dan menjadikannya begitu berbeda kini. Mungkin ia tersentak sadar ketika ayahnya meninggal dunia, atau ibunya, atau selepas kecelakaan, atau juga sehabis bencana yang menimpa dirinya, atau karena tak sengaja duduk mendengar kajian ketika maksud hati berlari pagi melintasi masjid kampus UGM hari minggu pagi, atau juga ketika ia membaca tulisan yang menggugah hati. Hmmm, memang setiap orang punya cara yang berbeda-beda ketika menyongsong hidayah. Semoga Anda mengalaminya sebaik dan sesegera mungkin.
Intinya dari tulisan ini adalah : Ambillah pelajaran dari setiap kesalahan yang Anda lakukan, dan berjanjilah bahwa Anda tak akan mengulangi kesalahan tersebut. Toh setiap manusia pernah salah, pernah terjatuh dalam dosa dan maksiat. Namun yang terpenting adalah sejauh mana seorang itu memiliki semangat untuk berintrospeksi dan bertaubat secara konstan. Sebab, taubat hakikatnya adalah proses perbaikan diri secara berkelanjutan. Dengan taubat itulah seorang dapat mengubah setiap kesalahan menjadi pelajaran mahal bagi kelanjutan langkah-lagkahnya menuju kehidupan yang berjaya dunia dan akhirat.

Jangan Pernah Berhenti Untuk Saling Menasehati

Sore itu matanya terlihat sembab. Bekas aliran air mata di pipinya tak mampu ia sembunyikan dari hadapan saya. Ia menunduk sebentar, mengusap kedua matanya kemudian tersenyum, berpura-pura ceria seakan tak terjadi apa-apa. Tapi ia tak bisa menipu saya. Saya tahu ia habis menangis. Tangis apa itu awalnya saya tak tahu. Maka saya tanya ia “menangis kenapa?”. Ia menjawab”tangis haru mengingat cinta kasih ibunda padaku. Setelah melihat seorang ibu yang memeluk anaknya di taman itu aku rindu ibu, rindu kasih sayangnya, rindu nasehat-nasehatnya”. Dan Azan maghrib pun mengalun sendu bersama ketakjubanku terhadap lembut hatinya.
Di lain waktu seorang diantara kita pernah tersentuh hatinya melihat pengemis kecil-hitam- kumal di jalanan yang sebenarnya setiap hari ia lalui. Dalam batin ia berandai; Oh, seandainya dunia ini tak menyisakan kepedihan, kenestapaan, seandainya semua orang hidup bahagia. Namun kenyataan berkata lain dan itu ia tak bisa pungkiri. Ia pun paham bahwa sebenarnya ini kesempatannya untuk berbagi. Maka ia keluarkan lembaran-lembaran dari poketnya. Kali ini bukan hanya recehan seperti biasanya. Toh ia masih punya banyak lembar lainnya yang lebih mahal warna dan nominalnya. Sungguh menakjubkan karena ia baru tahu bahwa berbagi ternyata lebih nikmat dari pada membeli hanya sekedar demi kepuasan sendiri.
Kita pun pernah lihat bagaimana seorang pemuda yang tenggelam hari-harinya dalam dosa dan kehampaan. Namun suatu ketika sebuah nasehat menusuk hatinya, mengisi relung-relung jiwanya. Ia tersungkur, ia bertaubat. Dan kini ia adalah penyebar kebaikan dan kasih sayang kepada manusia.
Sebaliknya. Kita pernah pula lihat seorang yang keras hatinya. Beribu-ribu nasehat telah melintasi telinganya. Beratus-ratus musibah peringatan telah mewarnai hari-harinya. Berjuta-juta detik dalam hidupnya telah terpuaskan oleh kegalauan karena dosa, kedurhakaan dan ketidakpedulian kepada Pencipta juga kepada sesama. Namun ia tak juga sadar. Ia tutup matanya, ia sumbat telinganya ia bungkam suara hatinya, ia bunuh nuraninya snediri. Hatinya keras bagai batu.
Namun ingat! Batu pun perlahan dapat terkikis hanya oleh tetesan air yang lembut. Maka saya katakan:
“jangan pernah berhenti untuk saling menasehati!”

Rumput Tetangga Jauh Lebih Hijau

Rumput tetangga jauh lebih hijau
Mungkin pepatah ini pernah menghinggapi benak seluruh manusia sejagat raya. Tak peduli di tingkatan sosial mana ia berada. Selalu saja kita mendengar adanya keluhan di sisi kekaguman.
Mungkin sering kita mendengar keluhan seorang sahabat- sebut saja si Fulan- yang katakan dirinya memiliki begitu banyak kekurangan. Ia ingin bisa sempurna, ia ingin tak kurang suatu apa. Padahal Anda juga pernah mendengar sahabat Anda lainnya yang tampan itu – si ‘Alan- ingin bisa hidup nyaman seperti si Fulan. “Duh alangkah bersyukurnya aku jika bisa hidup enak seperti si Fulan itu. Mau apa juga tinggal beli”. Katanya.
Dalam hati kita mungkin bilang : “Duh… Kalian ini kenapa?! Tidak pernah mau mensyukuri kenikmatan hidup yang Allah berikan kepada kalian.
Sesungguhnya ketika itulah sebuah kesempurnaan hidup, kenyamanan, ketampanan, kekayaan dan sebagainya menemui maknanya yang relatif. Kita mungkin pernah mempunyai gambaran tentang bagaimana hidup yang sempurna. Namun ketika gambaran tersebut telah tercapai kita ingin sesuatu yang lebih sempurna lagi. Begitulah manusia, jika diberi segunung emas ia akan meminta segunung lagi. Terus seperti itu sampai tanah kuburan memenuhi mulutnya.
Kita sering sekali mengeluh karena seperti- sepertinya hidup kita ini dipenuhi dengan masalah. Seakan kita orang yang paling sengsara di dunia. Ketika ditimpa suatu musibah kita merasa seakan kitalah yang paling naas nasibnya, celaka dua belas.
Kita juga sering mengeluh karena kekurangan harta. Seakan berjuta rupiah yang Allah berikan setiap bulannya tiada berarti apa. Kalau sudah begini, masalahnya bukan terletak pada musibah atau banyaknya harta itu sendiri. Tapi pada bagaimana cara kita menyikapi, bagaimana kita mensyukuri.
Padahal di sisi kehidupan yang lain kita melihat jutaan orang yang tengah sengsara; siang –malam teraniaya, disiksa, dibunuh sanak saudaranya, dirampas hak-haknya, hingga diinjak harga dirinya sebagai manusia. Di sisi lain dunia juga ada berjuta gelandangan, pengemis jalanan, mereka yang tidur di kolong jembatan, para kaum miskin-papa. Tiada punya suatu apa menurut ukuran kita.
Namun, di antara mereka ada yang masih bisa tersenyum tulus dan ucapkan “Alhamdulillah”. Mereka masih punya s-y-u-k-u-r dalam hatinya.
Lalu, mengapa kita tidak?!
Lihatlah mereka yang “di bawah” niscaya kita akan bersyukur…. Dan setelah syukur itu kita dapat, bahagiakanlah mereka itu, yang telah membantu kita memperoleh perasaan yang telah menjadikan jiwa kita kaya raya.