Setiap orang, berbeda memaknai uang dalam hidupnya. Tak sedikit yang beranggapan, dengan uang rasa hidup yang sesungguhnya, dapat dirasakan. Dengan uang yang sangat banyak, semua diyakini di dunia ini, bisa diatur. Banyak masalah, melanggar hukum, bisa selesai dengan uang. Begitu katanya. Apalagi, tinggal di Indonesia, yang oleh uang banyak orang menjadi lemah dibuatnya.
Sesungguhnya, saat ini, kalau kita perhatikan, cita-cita banyak orang disadari atau tidak, adalah menjadi orang banyak uang. Sebab, asumsinya, apa-apa di dunia ini sekarang, selalu pakai uang. Artinya, dalam keseharian, hidup memerlukan biaya, membutuhkan uang. Makanya, ada yang frustrasi, ketika berburu uang, tak jua dapat-dapat, langsung ingin bunuh diri atau menyendiri karena malu dan takut disangka miskin.
Dengan banyak uang, katanya, lebih dihormati banyak orang. Apa-apa bisa didapat. Hal ini, didukung dalam beberapa fakta sosial, termasuk dalam hubungan kekerabatan dalam keluarga. Selalu, kita mengistimewakan, mereka yang punya uang banyak atau kaya. Jika ada dua orang, yang satu miskin dan satunya lagi kaya, kecenderungan orang lebih melayani si kaya. Karena, banyak orang kita, alat ukuran nilai-nilainya adalah uang (kekayaan).
Karena itu, ada sindiran dalam sebuah anekdot, yang kesimpulannya begini: kalau ada dua orang korban kecelakaan, sama-sama sekarat, maka yang akan ditolong lebih dulu oleh pihak rumah sakit yang diketahui banyak uang. Karena, yang miskin, lebih menyusahkan hidupnya sendiri dan tak bisa bayar biaya rumah sakit.
Di zaman kini, banyak orang mati-matian demi uang. Seakan menyadari, dengan uang akan bahagia serta semua akan baik-baik saja. Karena itulah, angka korupsi, tidak pernah turun di Indonesia. Dan koruptor kakap, nyaris tidak tersentuh hukum, berkeliaran bebas di luar negeri. Hal ini, sebagai indikasi, uang telah diperankan dalam melemahkan hukum.
Berbagai persoalan bangsa yang menyedihkan dan merisaukan hati yang saat ini banyak muncul ke permukaan, kalau ditelusuri, semua dimainkan mafia, yang inti boroknya adalah uang. Ada yang menjelma sebagai mafia pajak, hukum, anggaran, proyek dan terakhir tersebut pula mafia pemilu. Apa yang tersiratkan di balik semua itu: demi uang!
Banyak masalah yang timbul akibat uang sebagai media ukurnya. Hedonisme, gaya hidup konsumtif, antara lain telah menjelma dari berbagai arah, yang kemudiannya harus dipahami, hidup bahagia berdasarkan sebanyak apa kita punya uang untuk bisa beli ini dan itu.
Ketika satu sama lain telah menjadikan “uang” sebagai sesuatu yang ajaib, yang bisa mengubah perilaku dan keadaan sosial serta psikologi seseorang, maka yang akhirnya kita pahami adalah, bagaimana menjadi benar memaknai keberadaan uang.
Uang bukanlah kekuatan untuk memoles diri menjadi bukan sesungguhnya. Tetapi, uang mestinya sebagai alat untuk membuat seseorang duduk pada tempat yang tepat, kemudian menggerakkannya kepada arah dan sasaran yang tepat.
Jika saat ini kita berkata, uang bukan segalanya, bisa jadi akan ada orang yang bilang kita munafik atau dianggap seorang yang sering kesulitan uang sehingga berupaya tidak tertarik pada uang. Padahal, kita menyadari, memang kita perlu uang, tapi bukan karena uang kita hidup dan bahagia. Karena itu, masih ada orang yang takut korupsi, karena uang hasil korupsi, diyakini tidak akan menjadikan hidup bahagia yang sebenar-benar bahagia.
Memiliki uang banyak, sesungguhnya tidak dilarang. Bahkan, kita dukung setiap orang menjadi kaya. Tapi didapat dengan cara halal. Karena, kita tidak ingin, ketika dia mendapat, pada saat itu ada pula orang yang kehilangan karena ulah kita.
Memiliki uang, sesungguhnya suatu keharusan, karena dengan punya uang, seseorang cenderung lebih percaya diri. Cuma, banyak orang, dengan banyak uang, ia kadang ingin menguasai orang. Karena mereka yang banyak uang, adalah kaum kelas atas, yang ketakutan abadinya adalah tidak punya uang alias jatuh miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar