Tidak mempunyai sense of crisis atas kondisi masyarakat belakangan ini! Demikian pokok komentar masyarakat dan media masa atas rencana para eksekutif dan legislatif Pemko Padang yang menganggarkan pembelian laptop beberapa waktu yang lalu.
Apa yang terjadi di Padang ini memang bukan kasus luar biasa di negeri ini. Di banyak daerah, hal ini juga dapat ditemui. Bahkan polemik serupa terjadi di DPR Pusat yang berakhir dengan pembatalan pembelian laptop beranggaran 22 milyar itu. Lalu mengapa masalah semacam ini kerap terjadi yang mengakibatkan begitu banyak komentar negatif masyarakat?
Pada dasarnya pembelian peralatan semacam laptop atau perlengkapan lainnya adalah sesuatu yang biasa dan wajar saja. Namun, bila peralatan tersebut dibeli tidak berdasarkan kebutuhan, ini menjadi tidak biasa dan wajar. Masyarakat tentu sulit dibuat percaya bila pembelian laptop dengan uang rakyat tersebut akan meningkatkan kinerja legislatif dan menghasilkan manfaat bagi rakyat. Tidak aneh jika hal semacam itu membuat masyarakat meradang.
Bukan hanya pembelian laptop, penggunaan uang rakyat yang tidak jelas manfaatnya untuk rakyat dapat dipastikan akan menuai protes masyarakat. Lihatlah, studi-studi banding ke luar negeri yang acapkali dilakukan oleh DPR juga sering menuai protes. Masyarakat seolah-oleh berada di puncak ketidakpercayaan terhadap wakil-wakilnya yang dianggap hanya memboroskan uang mereka tanpa kinerja yang jelas.
Adalah wajar jika masyarakat mempertanyakan penggunaan uang mereka. Sangat wajar pula bila masyarakat menuntut kinerja atau hasil dari penggunaan uang mereka. Apalagi di era reformasi ini, dimana pemerintah sejak tahun 1999 dalam UU No. 28/1999 tentang Penyelenggara Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas KKN; telah menegaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus berasaskan ‘Akuntabilitas’. Makna ‘Akuntabilitas’ dalam UU tersebut adalah bahwa setiap penggunaan dana publik harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat berupa kinerja atau hasil yang dapat dirasakan oleh masyarakat.
Berdasarkan asas akuntabilitas inilah kemudian dikeluarkan Inpres No. 7/1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Inpres ini menandai dimulainya penerapan manajemen berbasis kinerja di instansi pemerintah, yang kemudian mendorong pemerintah untuk memulai penerapan anggaran dan pertanggungjawaban berbasis kinerja di daerah melalui PP 105/2000 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan PP 108/2000 tentang Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Sedang untuk instansi pusat, penerapan anggaran berbasis kinerja sendiri baru dimulai setelah dikeluarkannya UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Peraturan perundang-undangan tentang manajemen pemerintahan berorientasi hasil atau kinerja ini saat ini sudah demikian rinci. Peraturan-peraturan ini berusaha meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan uang rakyat. Terakhir, Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri No. 13/2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Permendagri ini secara rinci mengatur agar pengeluaran uang rakyat pada pemerintahan daerah dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Rencana penyusunan perencanaan daerah dengan menggunakan pendekatan berdasarkan prestasi kerja dan berbasis anggaran kinerja, untuk itu ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi, antara lain adalah kelayakan RPJM Daerah dan Rencana Strategis (Renstra) SKPD (satuan kerja).
Sementara ini, pada praktiknya sering terjadi kerancuan dalam proses perencanaan antara perencanaan yang ditetapkan pada tingkat pemerintah daerah dengan unit-unit pelaksananya (satuan kerja), yaitu belum adanya keselarasan diantara kedua perencanaan tersebut.
Dalam Permendagri ini, sistem penganggaran lebih mengarah kepada manfaat/hasil dari alokasi dan penggunaan anggaran yang bersangkutan. Alokasi dan penggunaan anggaran akan menjadi jelas, seperti apa yang akan dihasilkan oleh suatu instansi pemerintah dalam satu kurun waktu tertentu, berapa dana yang dibutuhkan untuk memperoleh/mencapai hasil yang ditetapkan tersebut. Dengan menggunakan pola anggaran yang demikian, maka alokasi dan penggunaan anggaran akan sangat terkait dengan perencanaan, dalam hal ini terdapat keterkaitan antara hasil yang diharapkan dan anggaran yang diperlukan. Sehubungan dengan pola anggaran tersebut, pertanggungjawabannyapun akan menyesuaikan.
Pertanggungjawaban tidak lagi berupa berapa dana/anggaran yang telah diserap melainkan seberapa jauh hasil atau manfaat yang ditetapkan sebelumnya itu dapat tercapai yang disertai dengan penjelasan dan analisis atas capaian hasil/manfaat yang bersangkutan.
Prinsip dasar anggaran berbasis kinerja adalah bahwa anggaran hanya disetujui dan dikeluarkan bila rencana kinerja atau manfaat dari uang rakyat yang dibelanjakan itu benar-benar untuk rakyat.
Jadi kembali kepada polemik pembelian laptop atau studi banding ke luar negeri, boleh atau tidaknya kegiatan tersebut dilakukan tentu tergantung kepada ada atau tidak manfaatnya kepada rakyat. Bila memang ada manfaat bagi rakyat tentu dapat disetujui. Sebaliknya bila tidak jelas hasilnya, anggaran tersebut sebaiknya ditolak.
Sayangnya, anggaran berbasis kinerja ini nampaknya masih sebatas aturan saja. Pola pikir penggunaan uang rakyat masih didasarkan kepada berapa dan apa yang akan dibelanjakan ketimbang hasil apa yang akan dihasilkan. Pembicaraan di kalangan pemerintah pun seringkali berkisar kepada besarnya penerapan anggaran dan bukan pada kinerja yang telah dihasilkan. Bahkan, terdapat kecenderungan bila dana yang terserap hanya sedikit akan dikatakan tidak baik dan alokasi dana tahun berikutnya akan dibatasi.
Heboh pembelian laptop di Pemko Padang atau DPR Pusat atau studi banding anggota DPR ke luar negeri sebenarnya juga hanya merupakan beberapa contoh ekstrim saja dari penyimpangan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja. Masalah sesungguhnya jauh lebih besar. Hingga kini, masih banyak pengeluaran-pengeluaran lain baik di pusat maupun daerah yang tidak jelas hasil atau manfaatnya bagi rakyat. Laporan hasil evaluasi nasional atas LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) yang disusun oleh Kementerian PAN dan BPKP mengidentifikasikan bahwa mayoritas instansi pemerintah di pusat dan daerah (lebih dari 90%) belum sepenuhnya menerapkan perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja. Benang merah atau kaitan antara rencana, anggaran dan hasil atau kinerja yang ingin dicapai tidak jelas. Target kinerja dan tolok ukur kinerja keberhasilannya dibuat sekedar formalitas agar anggaran disetujui.
Kalau sudah begini, jangan berharap uang rakyat akan kembali ke rakyat. Uang rakyat akan habis setiap tahun, tapi manfaat untuk rakyat tidak akan pernah optimal, sulit diukur dan dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, dari tahun ke tahun, rakyat bertambah miskin, pendidikan tambah sulit dan mahal, indeks kesehatan masyarakat terus menurun, pengangguran terus meroket dan hutang negara terus bertumpuk. Akhirnya, kesejahteraan rakyat hanya tinggal menjadi mimpi yang tak pernah usai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar