Senin, 19 Desember 2011

Paragraf Generalisasi, Analogi, dan Hubungan Kausal (Sebab-Akibat)

Generalisasi adalah pola pengembangan sebuah paragraf yang dibentuk melalui penarikan sebuah gagasan atau simpulan umum berdasarkan perihal atau kejadian.
Contoh :
1. Bensin merupakan jenis bahan bakar apabila terkena api akan mudah terbakar. Demikian juga minyak tanah, termasuk bahan bakar yang mudah terbakar. Solar pun demikian pula halnya, bila terkena api akan mudah terbakar. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa semua jenis bahan bakar apabila terkena api akan mudah terbakar.
2. Dua anak kecil ditemukan tewas dipingir jalan Jenderal Sudirman. Seminggu kemudian seorang anak wanita hilang ketika pulang dari sekolah. Sehari kemudian, polisi menemukan bercak-bercak darah dibelakang kursi mobil Anwar. Polisi juga menemukan potret dua orang anak yang tewas di jalan Jenderal Sudirman dalam kantung celana Anwar. Dengan demikian, Anwar adalah orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban tentang hilangnya tiga anak itu.

Analogi adalah perbandingan dua hal yang berbeda, tetapi masih memperlihatkan kesamaan segi atau fungsi dari kedua hal yang dibandingkan. Berdasarkan banyak kesamaan tersebut, ditariklah suatu kesimpulan.
Contoh :
1. Para atlet memiliki latihan fisik yang keras guna membentuk otot-otot yang kuat dan lentur. Demikian juga dengan tentara, mereka memerlukan fisik yang kuat untuk melindungi masyarakat. Keduanya juga membutuhkan mental yang teguh untuk bertanding ataupun melawan musuh-musuh di lapangan. Oleh karena itu, untuk menjadi atlet dan tentara harus memiliki fisik dan mental yang kuat.
2. Demikian pula dengan manusia yang tidak berilmu dan tidak berperasaan, ia akan sombong dan garang. Oleh karena itu, kita sebagai manusia apabila diberi kepandaian dan kelebihan, bersikaplah seperti padi yang selalu merunduk.

Paragraf hubungan sebab akibat (hubungan kausal) adalah paragraf yang dimulai dengan mengemukakan fakta khusus yang menjadi sebab, dan sampai pada simpulan yang menjadi akibat.
Contoh :
1. Kemarau tahun ini cukup panjang. Sebelumnya, pohon-pohon di hutan sebagi penyerap air banyak yang ditebang. Di samping itu, irigasi di desa ini tidak lancar. Ditambah lagi dengan harga pupuk yang semakin mahal dan kurangnya pengetahuan para petani dalam menggarap lahan pertaniannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan panen di desa ini selalu gagal.
2. Sejumlah pengusaha angkutan di Bantul terpaksa gulung tikar karena pendapatan yang mereka peroleh tidak bisa menutup biaya operasional. Minimnya pendapatan karena sebagian besar penumpang membayar ongkos dibawah ketentuan tarif yang sudah ditetapkan, akibat ketidakmampuan ekonomi.

Kamis, 01 Desember 2011

Kemiskinan dan Dualisme Ekonomi

AWAL Juli 2010 lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan kembali penurunan jumlah orang miskin di Indonesia. Menurut BPS, pada 2010 ini angka kemiskinan turun tipis menjadi 13,32 persen (pada 2009 mencapai 14,15 persen). Dengan begitu, jumlah orang miskin pada 2010 mencapai 31,02 juta penduduk.

Penurunan ini tentu harus disyukuri karena berarti secara perlahan jumlah orang miskin di Indonesia dapat dikurangi. Namun, ada dua hal serius yang justru perlu diwaspadai. Pertama, walaupun persentase kemiskinan turun, persentase jumlah orang miskin di pedesaan justru meningkat (dari 63,35 persen pada 2009 menjadi 64,23 persen pada 2010). Fakta ini merupakan pukulan telak karena pembangunan (ekonomi) justru kian meminggirkan warga pedesaan.

Kedua, jika terus menggunakan pendekatan kebijakan seperti selama ini, tampaknya sampai kapan pun penurunan kemiskinan akan lambat karena mudah menguap disapu aneka kebijakan maupun krisis ekonomi.

Sektor Pertanian Muram

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa lebih dari 60 persen orang miskin ada di wilayah pedesaan. Artinya, kebijakan ekonomi yang diproduksi pemerintah selama ini cenderung memfasilitasi penduduk di perkotaan ketimbang warga desa. Jika dibuat lebih eksplisit, pemerintah lebih mementingkan kegiatan di sektor industri/jasa daripada di sektor primer (pertanian) yang selama ini menjadi tempat mencari nafkah sebagian besar penduduk di pedesaan.

Dengan begitu, melacak penyebab naik turunnya angka kemiskinan di pedesaan sebetulnya tidak sulit, yakni tinggal menganalisis dinamika di sektor pertanian. Hipotesisnya, jika pertumbuhan sektor pertanian bagus, jumlah kemiskinan (di pedesaan) akan cepat turun. Sebaliknya, jika sektor pertanian terpuruk, jumlah kemiskinan akan melonjak. Hipotesis ini sekaligus memudahkan pemerintah mengambil solusi mengatasi problem kemiskinan secara sistematis.

Faktanya, data yang dikeluarkan BPS ternyata mendukung hipotesis tersebut. Biasanya data kemiskinan diambil pada triwulan I tiap tahun, sehingga naik turunnya angka kemiskinan di pedesaan juga bisa dilihat dari pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan I. Data menunjukkan, pada triwulan I 2009 sektor pertanian tumbuh 4,8 persen (terhadap triwulan I 2008), sementara pada triwulan I 2010 sektor pertanian tumbuh hanya 2,9 persen (terhadap triwulan I 2009).

Jadi, data itu dengan jelas menunjukkan adanya penurunan pertumbuhan sektor pertanian 50 persen di antara periode tersebut. Bahkan, data itu juga tetap konsisten apabila membandingkan pertumbuhan sektor pertanian triwulan I 2009 (terhadap triwulan IV 2008) yang 19,3 persen dengan pertumbuhan triwulan I 2010 (terhadap triwulan IV 2009) yang hanya 18,1 persen. Inilah yang menjadi penyebab mengapa jumlah orang miskin di desa meningkat pada saat data nasional kemiskinan menurun.

Yang juga menarik, jika data di atas didalami lagi dengan mengaitkan situasi makroekonomi, akan terdeskripsikan informasi berikut. Pada saat ekonomi sedang krisis (seperti situasi triwulan I 2009, di mana keadaan paling muram akibat krisis ekonomi global yang bermula sejak September 2008) sektor pertanian justru tumbuh bagus.

Sebaliknya, ketika ekonomi berada dalam jalur pemulihan (seperti periode triwulan I 2010, di mana pertumbuhan ekonomi mencapai 5,7 persen) sektor pertanian justru terpuruk ke angka 2,9 persen. Dengan kata lain, jika ekonomi sedang krisis sektor pertanian dijadikan "pelampung" atau katub pengaman. Namun, saat ekonomi menanjak (up-ward), sektor pertanian ditinggal kembali (realitas muram ini tentu sangat menyedihkan).

Pola ini nyaris sama dengan periode 1997/1998 ketika terjadi krisis ekonomi yang hebat, yang saat itu nilai tukar petani (NTP) malah mencapai rekor tertinggi.

Pelanggengan Dualisme

Kenyataan di atas kembali melayangkan pikiran kita tentang dualisme ekonomi yang nyaring disuarakan semenjak dekade 1980-an terhadap perkembangan ekonomi nasional. Dualisme ekonomi itu memisahkan secara tegas ekonomi perkotaan dan ekonomi pedesaan, antara sektor industri/jasa dan sektor pertanian.

Pertumbuhan ekonomi sektor industri/jasa di perkotaan tidak secara langsung menyeret sektor pertanian di wilayah pedesaan. Sebaliknya, pertumbuhan sektor pertanian (khususnya saat krisis) tidak mampu memicu perkembangan sektor industri/jasa.

Hal ini terjadi karena basis pembangunan sektor industri/jasa di Indonesia sama sekali terpisah dengan sektor pertanian. Jadi, tanpa perubahan radikal terhadap pilihan strategi pembangunan nasional mustahil masalah kemiskinan dapat dituntaskan. Pemerintah tahu persis dengan soal ini, tapi mengapa tidak ada langkah konkret untuk mendesain jalan keluar yang sederhana ini?

Pesan dari data dan analisis tersebut sebetulnya sangat jelas, bahwa penyelesaian problem kemiskinan dengan model selama ini, yang fokus kepada kebijakan tambal sulam (misalnya penyaluran kredit dan bantuan karikatif) tanpa berupaya secara sistematis memihak sektor pertanian dan pengolahan/industri (yang terkait dengan sektor pertanian), pasti menemui kegagalan. Bahkan, jika krisis ekonomi terjadi, misalnya ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang anjlok maupun inflasi yang melambung, angka kemiskinan bakal melonjak lagi.
Dengan kata lain, peristiwa krisis dapat menghancurkan upaya penanganan kemiskinan (parsial) yang dilakukan sebelumnya. Ini membuat angka kemiskinan naik-turun mirip roller-coaster: menegangkan, tapi menyenangkan sebagai sebuah permainan.

Ketika uang adalah segalanya, Kita sudah bukan siapa-siapa!!

Setiap orang, berbeda memaknai uang dalam hidupnya. Tak sedikit yang beranggapan, dengan uang rasa hidup yang sesungguhnya, dapat dirasakan. Dengan uang yang sangat banyak, semua diyakini di dunia ini, bisa diatur. Banyak masalah, melanggar hukum, bisa selesai dengan uang. Begitu katanya. Apalagi, tinggal di Indonesia, yang oleh uang banyak orang menjadi lemah dibuatnya.

Sesungguhnya, saat ini, kalau kita perhatikan, cita-cita banyak orang disadari atau tidak, adalah menjadi orang banyak uang. Sebab, asumsinya, apa-apa di dunia ini sekarang, selalu pakai uang. Artinya, dalam keseharian, hidup memerlukan biaya, membutuhkan uang. Makanya, ada yang frustrasi, ketika berburu uang, tak jua dapat-dapat, langsung ingin bunuh diri atau menyendiri karena malu dan takut disangka miskin.

Dengan banyak uang, katanya, lebih dihormati banyak orang. Apa-apa bisa didapat. Hal ini, didukung dalam beberapa fakta sosial, termasuk dalam hubungan kekerabatan dalam keluarga. Selalu, kita mengistimewakan, mereka yang punya uang banyak atau kaya. Jika ada dua orang, yang satu miskin dan satunya lagi kaya, kecenderungan orang lebih melayani si kaya. Karena, banyak orang kita, alat ukuran nilai-nilainya adalah uang (kekayaan).

Karena itu, ada sindiran dalam sebuah anekdot, yang kesimpulannya begini: kalau ada dua orang korban kecelakaan, sama-sama sekarat, maka yang akan ditolong lebih dulu oleh pihak rumah sakit yang diketahui banyak uang. Karena, yang miskin, lebih menyusahkan hidupnya sendiri dan tak bisa bayar biaya rumah sakit.

Di zaman kini, banyak orang mati-matian demi uang. Seakan menyadari, dengan uang akan bahagia serta semua akan baik-baik saja. Karena itulah, angka korupsi, tidak pernah turun di Indonesia. Dan koruptor kakap, nyaris tidak tersentuh hukum, berkeliaran bebas di luar negeri. Hal ini, sebagai indikasi, uang telah diperankan dalam melemahkan hukum.

Berbagai persoalan bangsa yang menyedihkan dan merisaukan hati yang saat ini banyak muncul ke permukaan, kalau ditelusuri, semua dimainkan mafia, yang inti boroknya adalah uang. Ada yang menjelma sebagai mafia pajak, hukum, anggaran, proyek dan terakhir tersebut pula mafia pemilu. Apa yang tersiratkan di balik semua itu: demi uang!

Banyak masalah yang timbul akibat uang sebagai media ukurnya. Hedonisme, gaya hidup konsumtif, antara lain telah menjelma dari berbagai arah, yang kemudiannya harus dipahami, hidup bahagia berdasarkan sebanyak apa kita punya uang untuk bisa beli ini dan itu.

Ketika satu sama lain telah menjadikan “uang” sebagai sesuatu yang ajaib, yang bisa mengubah perilaku dan keadaan sosial serta psikologi seseorang, maka yang akhirnya kita pahami adalah, bagaimana menjadi benar memaknai keberadaan uang.

Uang bukanlah kekuatan untuk memoles diri menjadi bukan sesungguhnya. Tetapi, uang mestinya sebagai alat untuk membuat seseorang duduk pada tempat yang tepat, kemudian menggerakkannya kepada arah dan sasaran yang tepat.

Jika saat ini kita berkata, uang bukan segalanya, bisa jadi akan ada orang yang bilang kita munafik atau dianggap seorang yang sering kesulitan uang sehingga berupaya tidak tertarik pada uang. Padahal, kita menyadari, memang kita perlu uang, tapi bukan karena uang kita hidup dan bahagia. Karena itu, masih ada orang yang takut korupsi, karena uang hasil korupsi, diyakini tidak akan menjadikan hidup bahagia yang sebenar-benar bahagia.

Memiliki uang banyak, sesungguhnya tidak dilarang. Bahkan, kita dukung setiap orang menjadi kaya. Tapi didapat dengan cara halal. Karena, kita tidak ingin, ketika dia mendapat, pada saat itu ada pula orang yang kehilangan karena ulah kita.

Memiliki uang, sesungguhnya suatu keharusan, karena dengan punya uang, seseorang cenderung lebih percaya diri. Cuma, banyak orang, dengan banyak uang, ia kadang ingin menguasai orang. Karena mereka yang banyak uang, adalah kaum kelas atas, yang ketakutan abadinya adalah tidak punya uang alias jatuh miskin.

Uang Rakyat Untuk Rakyat

Tidak mempunyai sense of crisis atas kondisi masyarakat belakangan ini! Demikian pokok komentar masyarakat dan media masa atas rencana para eksekutif dan legislatif Pemko Padang yang menganggarkan pembelian laptop beberapa waktu yang lalu.

Apa yang terjadi di Padang ini memang bukan kasus luar biasa di negeri ini. Di banyak daerah, hal ini juga dapat ditemui. Bahkan polemik serupa terjadi di DPR Pusat yang berakhir dengan pembatalan pembelian laptop beranggaran 22 milyar itu. Lalu mengapa masalah semacam ini kerap terjadi yang mengakibatkan begitu banyak komentar negatif masyarakat?

Pada dasarnya pembelian peralatan semacam laptop atau perlengkapan lainnya adalah sesuatu yang biasa dan wajar saja. Namun, bila peralatan tersebut dibeli tidak berdasarkan kebutuhan, ini menjadi tidak biasa dan wajar. Masyarakat tentu sulit dibuat percaya bila pembelian laptop dengan uang rakyat tersebut akan meningkatkan kinerja legislatif dan menghasilkan manfaat bagi rakyat. Tidak aneh jika hal semacam itu membuat masyarakat meradang.

Bukan hanya pembelian laptop, penggunaan uang rakyat yang tidak jelas manfaatnya untuk rakyat dapat dipastikan akan menuai protes masyarakat. Lihatlah, studi-studi banding ke luar negeri yang acapkali dilakukan oleh DPR juga sering menuai protes. Masyarakat seolah-oleh berada di puncak ketidakpercayaan terhadap wakil-wakilnya yang dianggap hanya memboroskan uang mereka tanpa kinerja yang jelas.

Adalah wajar jika masyarakat mempertanyakan penggunaan uang mereka. Sangat wajar pula bila masyarakat menuntut kinerja atau hasil dari penggunaan uang mereka. Apalagi di era reformasi ini, dimana pemerintah sejak tahun 1999 dalam UU No. 28/1999 tentang Penyelenggara Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas KKN; telah menegaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus berasaskan ‘Akuntabilitas’. Makna ‘Akuntabilitas’ dalam UU tersebut adalah bahwa setiap penggunaan dana publik harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat berupa kinerja atau hasil yang dapat dirasakan oleh masyarakat.

Berdasarkan asas akuntabilitas inilah kemudian dikeluarkan Inpres No. 7/1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Inpres ini menandai dimulainya penerapan manajemen berbasis kinerja di instansi pemerintah, yang kemudian mendorong pemerintah untuk memulai penerapan anggaran dan pertanggungjawaban berbasis kinerja di daerah melalui PP 105/2000 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan PP 108/2000 tentang Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Sedang untuk instansi pusat, penerapan anggaran berbasis kinerja sendiri baru dimulai setelah dikeluarkannya UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Peraturan perundang-undangan tentang manajemen pemerintahan berorientasi hasil atau kinerja ini saat ini sudah demikian rinci. Peraturan-peraturan ini berusaha meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan uang rakyat. Terakhir, Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri No. 13/2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Permendagri ini secara rinci mengatur agar pengeluaran uang rakyat pada pemerintahan daerah dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Rencana penyusunan perencanaan daerah dengan menggunakan pendekatan berdasarkan prestasi kerja dan berbasis anggaran kinerja, untuk itu ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi, antara lain adalah kelayakan RPJM Daerah dan Rencana Strategis (Renstra) SKPD (satuan kerja).

Sementara ini, pada praktiknya sering terjadi kerancuan dalam proses perencanaan antara perencanaan yang ditetapkan pada tingkat pemerintah daerah dengan unit-unit pelaksananya (satuan kerja), yaitu belum adanya keselarasan diantara kedua perencanaan tersebut.
Dalam Permendagri ini, sistem penganggaran lebih mengarah kepada manfaat/hasil dari alokasi dan penggunaan anggaran yang bersangkutan. Alokasi dan penggunaan anggaran akan menjadi jelas, seperti apa yang akan dihasilkan oleh suatu instansi pemerintah dalam satu kurun waktu tertentu, berapa dana yang dibutuhkan untuk memperoleh/mencapai hasil yang ditetapkan tersebut. Dengan menggunakan pola anggaran yang demikian, maka alokasi dan penggunaan anggaran akan sangat terkait dengan perencanaan, dalam hal ini terdapat keterkaitan antara hasil yang diharapkan dan anggaran yang diperlukan. Sehubungan dengan pola anggaran tersebut, pertanggungjawabannyapun akan menyesuaikan.

Pertanggungjawaban tidak lagi berupa berapa dana/anggaran yang telah diserap melainkan seberapa jauh hasil atau manfaat yang ditetapkan sebelumnya itu dapat tercapai yang disertai dengan penjelasan dan analisis atas capaian hasil/manfaat yang bersangkutan.
Prinsip dasar anggaran berbasis kinerja adalah bahwa anggaran hanya disetujui dan dikeluarkan bila rencana kinerja atau manfaat dari uang rakyat yang dibelanjakan itu benar-benar untuk rakyat.

Jadi kembali kepada polemik pembelian laptop atau studi banding ke luar negeri, boleh atau tidaknya kegiatan tersebut dilakukan tentu tergantung kepada ada atau tidak manfaatnya kepada rakyat. Bila memang ada manfaat bagi rakyat tentu dapat disetujui. Sebaliknya bila tidak jelas hasilnya, anggaran tersebut sebaiknya ditolak.

Sayangnya, anggaran berbasis kinerja ini nampaknya masih sebatas aturan saja. Pola pikir penggunaan uang rakyat masih didasarkan kepada berapa dan apa yang akan dibelanjakan ketimbang hasil apa yang akan dihasilkan. Pembicaraan di kalangan pemerintah pun seringkali berkisar kepada besarnya penerapan anggaran dan bukan pada kinerja yang telah dihasilkan. Bahkan, terdapat kecenderungan bila dana yang terserap hanya sedikit akan dikatakan tidak baik dan alokasi dana tahun berikutnya akan dibatasi.

Heboh pembelian laptop di Pemko Padang atau DPR Pusat atau studi banding anggota DPR ke luar negeri sebenarnya juga hanya merupakan beberapa contoh ekstrim saja dari penyimpangan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja. Masalah sesungguhnya jauh lebih besar. Hingga kini, masih banyak pengeluaran-pengeluaran lain baik di pusat maupun daerah yang tidak jelas hasil atau manfaatnya bagi rakyat. Laporan hasil evaluasi nasional atas LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) yang disusun oleh Kementerian PAN dan BPKP mengidentifikasikan bahwa mayoritas instansi pemerintah di pusat dan daerah (lebih dari 90%) belum sepenuhnya menerapkan perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja. Benang merah atau kaitan antara rencana, anggaran dan hasil atau kinerja yang ingin dicapai tidak jelas. Target kinerja dan tolok ukur kinerja keberhasilannya dibuat sekedar formalitas agar anggaran disetujui.

Kalau sudah begini, jangan berharap uang rakyat akan kembali ke rakyat. Uang rakyat akan habis setiap tahun, tapi manfaat untuk rakyat tidak akan pernah optimal, sulit diukur dan dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, dari tahun ke tahun, rakyat bertambah miskin, pendidikan tambah sulit dan mahal, indeks kesehatan masyarakat terus menurun, pengangguran terus meroket dan hutang negara terus bertumpuk. Akhirnya, kesejahteraan rakyat hanya tinggal menjadi mimpi yang tak pernah usai.

IHSG Mati Suri, Rupiah Loyo

Memahami pergerakan IHSG dan nilai tukar rupiah/dolar dalam beberapa pekan terakhir cukup mengkhawatirkan beberapa pihak. Penurunan IHSG yang menyentuh posisi 1.296 dan rupiah yang menyentuh 12.050 pada penutupan Jumat (20 Februari 2009) mengindikasikan bahwa kondisi pasar keuangan domestik berada pada posisi rawan.

Pelemahan rupiah dan IHSG di tengah-tengah ambruknya bursa regional dan belum pastinya pemulihan ekonomi AS,secara mudah dan gamblang disebut-sebut sebagian pengamat sebagai penyebab utama masalah ini. Bahkan, pelemahan ini dianggap fenomena yang lazim di saat suatu negara sedang mengalami resesi. Pelemahan nilai tukar rupiah dan IHSG seharusnya dapat dilihat dalam perspektif yang luas bahwa fenomena ini bukan sekadar fenomena moneter. Lebih dari itu, secara ekonomi politik banyak hal yang menyebabkan keterpurukan ini.

Makroekonomi vs Ekonomi Politik

Dalam perspektif makroekonomi, pelemahan indikator IHSG dan kurs mudah dipahami. Bahwa pelemahan itu disebabkan oleh faktor-faktor yang mendeterminasikannya dalam jangka panjang dan jangka pendek. Dalam jangka panjang, penguatan kurs dan IHSG dipengaruhi oleh faktor seperti: produktivitas ekonomi, harga relatif, hambatan perdagangan, dan kinerja ekspor/impor.

Dalam konteks ini, jika salah satu atau beberapa faktor di atas memberikan efek positif pada kondisi neraca perdagangan (surplus), kurs dan IHSG akan meningkat secara bersamaan. Rasionalnya, jika barang produk Indonesia laku di pasar dunia, permintaan rupiah meningkat (kurs terapresiasi).
Contoh lain, jika industri produk domestik semakin baik dalam kompetisi global, investor-investor akan memburu saham-saham domestik (IHSG terdongkrak). Namun, penjelasan di atas tentu tidak dapat ditelan bulat-bulat bahwa dalam pandangan ekonomi politik (non mainstream), ada pertimbangan lain yang menyebabkan rasionalitas di atas tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Pertama, nilai perdagangan valas (mata uang) jauh lebih besar dibanding nilai perdagangan barang dan jasa. Hal ini membuktikkan bahwa neraca perdagangan yang positif belum tentu mendongkrak kurs dan IHSG. Dalam konteks ini tingginya pengaruh sentimen pelaku pasar dan transaksi spekulatif mendominasi ekspektasi investor. Kedua, tingginya penggunaan US dolar dalam perdagangan internasional semakin menjelaskan bahwa surplus perdagangan (ekspor lebih besar dibanding impor) belum tentu meningkatkan permintaan rupiah. Sebab, partner dagang akan menyukai pembayaran dalam bentuk US dolar.

Lemahnya penjelasan makroekonomi tentang determinasi nilai tukar jangka panjang, mendorong pembenaran lain dalam jangka pendek. Hal itu disebabkan volatilitas dan fluktuasi kurs dan IHSG cenderung tinggi dalam jangka pendek. Secara sederhana, dalam konteks jangka pendek, dua faktor utama yang dipertimbangkan ialah perbedaan suku bunga (domestik dan asing) dan ekspektasi. Sebagai contoh, jika suku bunga riil (suku bunga domestik dikurangi suku bunga asing) adalah positif, kemungkinan capital inflow yang dapat memperkuat posisi mata uang domestik akan semakin meningkat.

Namun, tentu saja, rasionalitas tersebut dapat memberikkan efek yang mungkin berbeda dan membingungkan. Sebagai contoh, tren suku bunga yang meningkat bisa diartikan investor sebagai preseden buruk dalam suatu perekonomian karena suku bunga yang tinggi bisa berarti inflasi yang tinggi, dan kontraksi ekonomi. Akibatnya, ekspektasi investor akan semakin negatif, yang terefleksi dengan semakin enggannya investor asing/domestik memegang aset domestik.

Dalam konteks jangka pendek, kedua faktor di atas (perbedaan suku bunga dan ekspektasi) memang memainkan peran penting dalam menjelaskan pergerakan bursa dan kurs yang cenderung fluktuatif dan liar. Namun, lebih dari itu, pemahaman yang menyeluruh tentang perilaku pasar dan pemain-pemain di dalamnya juga harus menjadi perhatian serius.

Pertama, kondisi anomali di pasar keuangan yang cenderung liar membutuhkan strategi ekonomi politik yang tepat dan komprehensif. Volatilitas pasar keuangan yang berlebihan harus dapat diregulasi dengan ketat dan kuat, dengan mengontrol modal yang ketat. Krisis keuangan yang terjadi pada 1997 seharusnya dapat menjadi pelajaran penting bahwa krisis ekonomi meluas, berawal dari indikator pasar saham dan pasar keuangan yang semakin drop.Selanjutnya, keikutsertaan asing dalam pasar keuangan domestik harus dapat diregulasi dengan ketat, namun tidak berpaling dari prinsip fairness dan keterbukaan.

Kedua, intervensi Bank Indonesia (BI) jelas tidak akan efektif dengan hanya melakukan intervensi yang bersifat unsterilized dan sterilized di pasar uang. Hal itu disebabkan kemampuan dan kapasitas cadangan devisa BI sangat-sangatlah terbatas. Di sisi lain, intervensi pasar valas yang berlebihan akan berdampak cukup berat dalam pengelolaan uang beredar dan pencapaian target inflasi. Bahwa intervensi valas mungkin akan berkonflik dengan pencapaian target inflasi.

Membangun Kerjasama Regional

Penguatan bursa saham domestik dan mata uang lokal tidak akan efektif jika dilakukan dengan kemampuan sendiri. Nasib serupa yang dialami bursa regional setidaknya harus dapat mendorong kerja sama regional dalam konteks penguatan sistem keuangan. Hal ini disebabkan tiga rasional penting. Pertama, kekuatan dolar dalam sistem pembayaran dalam perdagangan internasional tentu bukanlah hal mudah untuk ditaklukkan.

Kedua, tingginya aksi spekulatif para Hedge Funds (spekulator besar) tidak akan dapat ditandingi bank sentral mana pun di dunia. Ketiga, penyelamatan pasar keuangan juga berarti penyelamatan ekonomi secara luas. Dalam hal ini jika pasar keuangan dibiarkan bankrupt, efek penularan krisis lambat laun akan menyebar bak penyakit epidemi.

Derita Petani dan Korupsi di Sektor Pangan

Sejak lima atau empat abad silam, bangsa Asia seperti Cina, India, Persia dan Eropa telah melakukan perdagangan dengan penduduk pribumi diseluruh pelosok Nusantara. Bangsa ini cukup dikenal, karena subur dan kaya sumber daya alam. Terutama hasil bumi dan pertaniannya, seperti kopra, cendana, gaharu dan rempah-rempahan. Dahulunya Nusantara ini disebut negeri, “gemah ripah loh jenawi”. Bahkan dalam dendang tahun 60-an disebut “negeri kolam susu”. Sepertinya sudah ditakdirkan negeri ini adalah sepotong sorga yang diturunkan Tuhan dari langit.

Banyak kisah dan sebutan-sebutan tentang negeri ini yang indah dan elok. Namun sebutan ini tidak selalu seindah namanya, malah justru sering kali membawa persoalan dan petaka besar bagi kehidupan rakyatnya. Hampir sepanjang masa, rakyatnya hidup miskin. Tiga setengah abad lamanya dijajah Belanda dan belakangan petaninya terjajah pula oleh bangsanya sendiri. Apapun sebutan dan kisahnya, karena disebabkan kebodohan, “kufur nikmat”, telah “menina-bobokkan” bangsa ini dalam waktu yang lama. Bangsa ini tertidur pulas dihamparan “permadani hijau” bertabur jamrud, mutu-manikam, terhipnotis hembusan angin sorga yang terus meniupi katulistiwa dan hanyut jauh dalam dendang “rayuan pulau kelapa”.

Ironisnya semua itu hanyalah mimpi semata. Nyatanya nasib dan kehidupan para petani dinegeri ini tak seindah mimpi yang datang disetiap tidur mereka. Sebab realitanya, ketika mereka terbangun dan menghadapi kenyataan hidup mereka yang sebenarnya, justru kehidupan mereka sangat memprihatinkan dan menggenaskan. Sungguh memuakkan terlahir sebagai petani, karena statusnya sangat dipandang rendahan dan sebelah mata.

Menjadi petani berarti siap untuk menderita. Bahkan dalam kondisi yang sangat tertekan sekalipun, mereka petani masih dihadapkan dengan harga pupuk yang mahal, gagal panen pengaruh iklim yang tak kompromis akibat pemanasan global, bencana alam lainnya, ancaman hama, ditambah segudang regulasi dan kebijakan pemerintah yang tidak pernah memihak kepada para petani.

Banyak sawah dipelosok-pelosok negeri dibiarkan terlantar oleh yang empunya, karena ongkos produksi bertani padi lebih tinggi dari hasil penjualan pasca panen. Harga beras yang murah membuat petani setengah hati untuk menggarap sawah-sawah mereka. Kalaupun sawah dikerjakan, bukan berarti mereka hendak mencari untung, tapi cuma sekedar mengisi hari-hari dan mencoba menghalau kegundahan yang menyelimuti mereka. Kebijakan negara mengimpor beras untuk menekan harga gabah petani sungguh memukul mental dan kinerja para petani.

Negara ini lebih suka mensubsidi negara asal pengimpor, ketimbang mensubsidi petani sendiri. Pada hal pembelian beras ke Thailand dan Vietnam dengan harga yang mahal dilakukan dengan mekanisme impor berlabel subsidi. Ironisnya impor tersebut semuanya memakai uang negara dengan berkedok subsidi untuk rakyat, JPS, raskin, operasi pasar dan pasar murah. Praktek subsidi dan regulasi terhadap impor beras dilakukan dengan alasan agar harga beras murah dan terjangkau oleh rakyat.


Diperlihatkanlah seolah-olah negara peduli dengan nasib rakyat miskin, dengan segera memenuhi kebutuhan pangan mereka. Kebohongan pun terus berlanjut. Dilegitimasi dengan daya beli rakyat yang rendah, maka untuk itu negara bealasan turun tangan memberi subsidi. Tetapi sebenarnya dibalik semua itu, kebijakan impor berlabel subsidi telah menimbulkan kerugian yang sangat besar, karena otomatis mematikan jiwa dan semangat bertani para petani – yang menjadi penghuni mayoritas negeri ini. Bahkan diluar itu sudah menjadi rahasia umum bahwa praktek impor beras sangat sarat muatan korupsi.

Faktanya sampai hari ini, banyak kasus korupsi hebat yang terungkap di Bulog maupun diberbagai lembaga lainnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan pokok pangan rakyat. Pada hal sebenarnya, bila harga beras dan produk pertanian lainnya katakanlah menguntungkan, maka rakyat Indonesia sebenarnya bisa lebih sejahtera, karena bisa mengekspor produk pertaniannya dengan harga yang bersaing.

Sebab dengan harga yang baik, logikanya petani kembali bergairah mengelola lahan mereka sendiri. Bahkan bila semua pabrikan di Kerawang dan Banten kembali beralih fungsi seperti semula, maka kawasan ini bisa kembali menjadi lumbung pangan nasional dan kembali berswasembada pangan.

Dengan alasan demikian, patut dipertanyakan, kok bisa dinegeri ini “petani kelaparan dilumbung padi”? Anehnya lagi, negara yang dikenal agraris, tanahnya subur, justru kerja pemerintahnya hanya mengimpor beras, jagung, gula dan kacang kedele. Mana kala semuanya itu bisa ditanam di Indonesia. Bukankah seharusnya sebagai negara agraris, Indonesia patut konsisten mengekspor produk pertanian saja, karena Indonesia mempunyai keunggulan alamiah (comparative adventage) tak terbandingkan dibelahan dunia manapun.

Lagi pula, tugas menteri perdagangan Indonesia, seharusnya memaksimalkan ekspor produk pertanian tropis, karena secara komparatif Indonesia unggul dibidang ini. Industri tertiar, seperti elektronik dan kendaraan bermotor yang menjadi andalan industri bangsa lain, ternyata tidak cocok diterapkan di Indonesia, karena ternyata sedikit pun tidak mampu merubah peningkatan tarap hidup rakyat Indonesia. Barang-barang tertier cukuplah diimpor, sebab selama inipun kehidupan industri Indonesia, hanyalah industri “tukang jahit”.

Bila dicermati secara ekonomis, upaya investor membangun pabrik di Indonesia, hanyalah karena upah buruh yang murah dan kepentingan strategis mereka, agar lebih dekat dengan pangsa pasarnya.

Korupsi di Lumbung Pangan

Sungguh malang nasip petani di negeri ini. Sudahlah dirugikan, karena mengeluarkan ongkos produksi yang mahal, mereka pun tidak bisa menjual hasil pertaniannya sedikit diatas ongkos produksi. Bahkan ironisnya, bermacam subsidi yang diberikan negara, justru dinikmati oleh negara asal pengimpor yang tentunya banyak mengambil untung. Belum lagi praktek koruptif yang dilakukan oleh aparatus Bulog bersama rekananannya, ketika membeli beras maupun disaat mendistribusikan beras impor kepasaran dalam negeri.

Bulog bisa saja membeli beras ke negara tetangga (tercatat dikuitansi) seharga Rp.5.000,- perkilogram dengan memakai dana APBN, walaupun nyatanya yang dibayarkan kepada importir hanya Rp.4.500,- perkilogram. Korupsinya sekitar Rp.500,- perkilogram. Lalu beras impor tersebut kemudian didistribusikan ke rekanan dengan harga yang sudah disubsidi oleh negara, katakanlah dijual Rp.3.000,- perkilogram, maka Bulog sekali lagi menerima komisi haram Rp.200,- perkilogram secara diam-diam dari distributor dan rekanan.

Nanti disaat dilempar dipasaran, harga beras impor itupun dijual dengan harga berpluktuasi sekitar Rp.3.500,- perkilogram. Berdalih praktek stabilisasi harga ala Bulog diatas, maka otomatis menyebabkan harga gabah petani dipasaran menjadi anjlok. Pada hal supaya untung, seharusnya beras petani terjual Rp.5.000,- perkilogram, sebagaimana juga Bulog membeli beras impor kenegara tetangga. Akan tapi, karena praktek impor beras ini jugalah, maka akibatnya harga beras petani terpaksa menyesuaikan dengan harga pasar menjadi sekitar Rp.3..500,- perkilogram.

Dari perkiraan diatas, dapat dihitung korupsi yang dilakukan oleh koruptor dilumbung pangan. Asumsinya adalah bila setahun Bulog mengimpor 200.000 ton beras, maka uang rakyat yang dikorupsinya adalah sekitar 140.000.000.000,- pertahun atau sebelas milyar perbulan. Bukankah itu sebuah angka yang sangat fantastis?

Memang aneh, di negeri yang terus nestapa, karena korupsi dan dililit utang. Buruh dan abdi negara, seperti PNS, TNI/POLRI digaji murah, hingga mereka pun tak mampu beli beras dengan harga yang menguntungkan petani. Hanya demi melindungi 20% buruh murah dan abdi negara, maka berdalih subsidi untuk rakyat, pemerintah mengorbankan nasib, cita-cita dan bahkan segala-galanya kehidupan masyarakat tani yang mayoritas 80% penghuni tetap negara ini. Bahkan bila dicermati lebih lanjut, maka uang subsidi dan pembelian beras impor yang telah dikeluarkan negara itu juga berasal dari pungutan uang rakyat.

Sudah sepatutnya dikelola secara adil dan merata, dengan mendahulukan asas kepentingan dan kemaslahatan orang banyak. Dengan demikian, takkan ada petani yang mati dilumbung padi. Takkan ada tikus yang menguasai lumbung padi, yang bisanya (racunnya) selalu mematikan kehidupan petani.

Harapan kita kedepan, hendaknya pertanian menjadi andalan utama dan fokus tetap pemerintah. Buanglah mimpi menjadi negara industri pabrikan, kecuali upaya mendesak yang sesegeranya dilakukan pemerintah untuk meregulasi ulang kebijakan sektor pertanian dan memodernisasi industri pertanian.

Karena pertanian adalah sudah merupakan karunia besar dan takdir Tuhan untuk kemakmuran negara ini. Jangan sampai bangsa ini berulang kali terpuruk dan jatuh kelobang yang sama. Selama ini petani dan buruh negeri ini hanya dimanfaatkan oleh kepentingan kapitalisme global, karena pasarnya yang empuk, murah didikte asing dan terkenal dengan upah buruh yang murah.

Akibatnya, dengan upah dan gaji yang kecil, maka implikasinya adalah ketidakmampuan buruh, pegawai negeri, termasuk buruh tani untuk membeli beras dengan harga yang memadai. Dengan demikian diharapkan kedepan, harga beras kita mampu bersaing dan bisa memberikan keuntungan bagi petani pangan, karena dengan harga produk pertanian yang baik, keuntungan bisa diraih oleh para petani. Konkritnya, regulasi dan kebijakan pertanian hendaknya bisa memberikan nilai tambah dan keuntungan yang cukup bagi para petani, tentunya diluar ongkos produksi yang telah mereka keluarkan.

Mudah-mudahan dengan bertahap, kita bisa kembali mengejar ketertinggalan dengan Malaysia, Thailand dan Vietnam yang petaninya lebih sejahtera, sebab mereka dari dulu konsisten sebagai negara agraris.. Mereka justru tidak perlu mengejar target menjadi negara industri pabrikan. Cukup saja menjadi negara agraris dan tetap fokus memodernisasi industri pertaniannya yang langsung menopang kehidupan petani-petani mereka.

Itulah sekelumit kisah nestapa petani dinegeri ini. Sepanjang masa kehidupan mereka dikeroyok dari berbagai sisi hingga babak-belur, sampai mereka pun susah untuk bangkit kembali. Namun demikian, petani-petani pejuang itu tetap saja memimpikan datangnya sang “ratu adil” dan berharap disuatu saat nanti, nasib mereka bisa menjadi lebih baik. Sekalipun nyatanya hari ini keberpihakan negara yang ditunggu itu tak kunjung datang.

Kapitalisme, Pemanasan Global dan CSR

Kapitalisme memang menjadi idiologi penggerak dan pengendali perekonomian global, mulai dari teori produksi sampai kepada ekonomi minyak, bahkan ekonomi persenjataan tak terlepas dari kapitalisme. Akibatnya, tanpa disadari kita telah berada dalam atmosfir globalisasi ekonomi. Dan globalisasi ekonomi tersebut juga dikendalikan oleh kapitalisme. Negara mana yang memiliki warna dan idiologi kapitalisme didunia ini? Tentu negara yang menguasai perekonomian global.

Sepuluh tahun terakhir ini opini dunia telah dipenuhi oleh pemanasan global, menjelang issue pemanasan global yang dulunya pernah dikenal dengan effect rumah kaca. Maksudnya sama. Indikasinya, suhu udara dari waktu ke waktu menunjukan peningkatan; iklim yang tidak menentu; jika musim hujan terjadi banjir yang luar biasa dan membinasakan, dan jika musim panas terjadi kekeringan yang luar biasa dan mendatangkan kebakaran dimana-mana; permukaan laut semakin tinggi sehingga banyak pulau yang tenggelam dan bibir pantai yang semakin menyempit–mengejar daratan; semakin menipisnya ketersediaan sumber air bersih dari tanah; berbagai macam munculnya jenis penyakit yang tidak teridentifikasi sebelumnya.

Semuanya itu menjadi momok bencana yang berhubungan langsung dengan manusia.Dari fenomena diatas, ahli ekonomi kewalahan meletakan dasar teori untuk memprediksi perekonomian masa akan datang. Banyak negara dalam beberapa tahun terakhir ini perlu menata ulang Anggaran Belanja negaranya, bahkan Indonesia untuk tahun 2008 perlu meninjau ulang RAPBN. Berkat globalisasi ekonomi, satu saja negara maju seperti Amerika Serikat mengalami masalah ekonomi akan berdampak pada negara lain. Semuanya itu tidak terlepas dari dampak kapitalisme dengan institusi-institusi ekonomi global.

Sekarang sudah mulai menyadari, para ahli ekonomi dan pelaku ekonomi bahkan pengamatlebih mengarahkan fokus diskusi kepada bagaimana mengelola sumberdaya bernilai ekonomi berdasarkan etika, moral, dan tanggungjawab sosial. Yang selama ini diabaikan oleh para kapitalis. Permasalahannya, bagaimana mengarahkan idiologi kapitalisme ini kearah moralitas dan etika.

Apakah dua mata angin yang berlawanan itu akan ada titik temunya, ADA. Tentu dengan tanggungjawab sosial atau ”social responsisbility” perusahaan/corporate. Dengan SR ini diharapkan organisasi bisnis dapat meminimalisir eksternalitas negatif terhadap lingkungan dimana organisasi itu berada.

Secara pilosofis, tujuan dari Corporate Social Responsibility untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Tanggung jawab sosial perusahaan adalah komitmen bisnis untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi, bekerjasama dengan karyawan, keluarga-keluarga mereka, masyarakat dan masyarakat lokal untuk meningkatkan mutu hidup mereka (WBCSD, 2000). CSR mengacu pada prakarsa secara sukarela yang diambil oleh pelaku bisnis untuk bertindak secara bertanggung jawab dengan semua stakeholders.

Dalam hal ini kita perlu menguraikan tiga aspek CSR yang diantaranya voluntarisme, stakeholder manajemen, dan networking. Gagasan yang pertama adalah sebagai dorongan sebagai ganti hukuman, dengan kata lain voluntarism. Argumentasinya bahwa perusahaan dapat menunjukkan tanggung jawab sosialnya dengan mengeluarkan suatu cara yang lebih produktif dan efisien – melakukannya dengan sukarela (Bryane, 2003). Konsep yang kedua bersandar pada stakeholder manajemen.

Dalam hal ini perusahaan tidak lagi pertanggungjawabannya hanya untuk mereka pemegang saham, melainkan dipengaruhi oleh berbagai operasi perusahaan yang menjadi pertimbangan dengan seksama yang meliputi pelanggan, karyawan, para penyalur, mitra, dan lingkungan lokal. Aspek penting lain dari prakarsa CSR adalah efek jaringan yang diakibatkan oleh interaksi yang terjadi melalui prakarsa ini dalam bentuk komunikasi perusahaan pada publik. Dalam implementasinya perusahaan menyebarkan informasi melalui halaman web, laporan berkala, dokumen ilmiah, dan bestpractice studi, seperti hal lainnya dimana perusahaan memenuhi undangan konferensi dan seminar. Saluran komunikasi ini dapat menyokong corporate social responsibility.

Di dalam teori ekonomi, CSR dilihat sebagai alat strategis corporate untuk mencapai sasaran hasil akhir, dan juga menciptakan kekayaan dalam jangka panjang, di mana perusahaan bertanggung jawab ke pemegang saham dan stakeholder lainnya. Perusahaan akan menerapkan CSR sepanjang mereka dapat bermanfaat secara ekonomis dari pelaksanaan perilaku yang bertanggung jawab tersebut, seperti menciptakan suatu merek yang akan meningkatkan pemasaran (Lantos, 1999). Sepertinya, motivasi utamanya memang bagaimana perusahaan dapat meningkatkan laba dalam jangka panjang.

Dalam operasionalisasinya untuk menerapkan CSR ini tidak akan terlepas dari teknologi, seperti teknologi yang berwawasan lingkungan adalah suatu kasus sempurna untuk menggambarkan dan pemahaman CSR. Isu ini pada dasarnya didasarkan pada pengembangan yang bisa mendukung dan pendekatan secara umum. Pada sisi lain, dapat juga diklaim bahwa program CSR dan adopsi teknologi dapat juga secara ekonomis mendatangkan lingkungan sehat dan lingkungan ramah, apabila dilakukan dengan cara yang benar.

Komisi pengawas dunia pada lingkungan melaporkan (1987) 'Masa depan kita' adalah suatu usul yang berhubungan dengan metoda untuk pertumbuhan ekonomi dengan mengambil isu lingkungan ke dalam pertimbangan kombinasi ekonomi dengan etika. Lihat dari suatu perspektif ekonomi, yang sedang kekuatan lingkungan teliti melibatkan investasi di dalam teknologi, metoda, perkakas, dan bahan baku yang lebih tinggi dibanding kasus untuk lingkungan acuh tak acuh/tak memihak itu.

Tanggungjawab social perusahaan kini jamak diakui bahwa kebijakan-kebijakan etis dapat menarik para pelanggan, dan kebijakan nonetis yang menyebabkan retaknya public relations membuat pelanggan lari. Kebijakan-kebijakan CSR yang diterapkan perusahaan-perusahaan dapat dikelom-pokan kedalam tiga level yang berbeda.

a.Level pertama = level paling dangkal, adalah CSR semata-mata sebagai ’aksi’ – sesuatu yang kelihatan bagus bagi tujuan-tujuan public relations. Pada umumnya CRM yang diterapkan oleh beberapa perusahaan masuk kedalam level ini. Apapun kegiatan dan program yang dilakukan perusahaan dengan pendekatan public realtions yang tujuannya adalah laba dan laba, perusahaan tidak akan memberikan sesuatu kalau tidak ada laba yang diperolehnya terutama laba dalam jangka pendek. Dapat dikatakan bahwa profit orientedlah yang menjadi tujuan perusahaan dalam melakukan pendekatan dengan publik.

Level pertama ini tidak akan ada kemajuan selagi pelanggannya tidak memiliki kecerdasan dan juga tidak memiliki bargaining. Disamping itu perusahaannya juga monopoli dan atau perusahaan membentuk sindikasi. Contohnya, betapa rendahnya bargaining pelanggan telepon seluler di Indonesia, dan betapa tingginya biaya komunikasi di Indonesia. Kalau ada promosi biaya komuniasi yang rendah itu hanya akal-akalan saja. Berkat jor-joran promosi biaya rendah yang menjadi korban adalah pelanggan pasca bayar dibandingkan pelanggan prabayar – yang setiap waktu dapat menukar kartu prabayarnya seperti membeli kacang goreng.

b.Level kedua = level yang agak dalam, adalah menerapkan CSR sebagai sebuah bentuk strategi defensive. Kebaikan yang dilakukan perusahaan disini tidak berangkat dari visi-batin perusahaan. Dalam penelitian terakhir yang dilakukan oleh PW Copers mengenai kebijakan CSR, ditemukan bahwa mayoritas perusahaan yang menjalankan CSR melakukannya untuk menghindari konsekuensi negatif dari citra yang buruk. Perusahaan melakukan perbaikan kondisi kerja dan kebijakan lingkungan sangat sering didorong oleh reaksi defensif ini. Ini dilakukan sama saja dengan strategi ”Aku melindungi diriku dengan menolongmu”.

Lagi pula, kebaikan yang dilakukan untuk tujuan defensif semacam itu bisa menimbulkan ”serangan balik” karena akan menyulut sinisme pelanggan. c.Level ketiga = level terdalam, bermula dari keinginan murni untuk melakukan kebijakan yang bersemayam tepat di inti visi dasar perusahaan. Seperti program akbar Coca Cola untuk mendirikan klinik-klinik kesehatan disepanjang pedesaan Cina daratan. Seperti perusahaan Coffe Star Burg yang meningkatkan kualitas hidup para petani kopi–industri hulunya.

Perusahaan-perusahaan yang bergerak pada level ini melakukannya sebagai bagian dari visi dasar mereka, yaitu bahwa salah satu alasan yang baik untuk mengumpulkan kekayaan adalah amal-amal kebaikan yang bisa dilakukan dengan menggunakan kekayaaan yang terkumpul.

Sekarang perlu kita renungkan, posisi perusahaan kita dimana? Apakah sudah sampai pada level 3 atau masih tetap mempertahankan diri pada level 1. Menurut hemat penulis, social responsibility (SR) bukan hanya kewajiban moral perusahaan/organisasi bisnis, namun hendaknya berlaku juga bagi institusi publik dan organisasi nir laba lainnya, partai politik dan perguruan tinggi di negara tercinta ini.

Seandainya semua organisasi bisnis dan publik serta organisasi nir laba lainnya menerapkan SR level 2 dan tiga diatas akan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan dengan sendirinya akan dapat mengentaskan kemiskinan dipermukaan bumi Indonesia.