Rabu, 30 November 2011

Manipulasi Stimulus Ekonomi

Pemerintah kembali memperlihatkan sikap yang sangat memprihatinkan dalam menghadapi krisis ekonomi. Setiap minggu pemerintah merevisi jumlah stimulus yang akan diberikan, sedangkan secara spesifik rincian penggunaan dana stimulus juga belum jelas.

Hal itu berbeda dengan negara-negara lain, sebut saja Thailand, Singapura, Australia, AS, dan Jerman yang secara detail sudah menetapkan jumlah anggaran yang dibutuhkan (walau sebagian masih menunggu persetujuan parlemen/kongres).

Terakhir, pemerintah menganggarkan Rp 71 triliun dana stimulus, yang terbagi dalam dua klasifikasi. Pertama, Rp 43 triliun merupakan dana stimulus tidak langsung dalam wujud penghematan pembayaran pajak dari tarif baru PPh badan, orang pribadi, dan pendapatan tidak kena pajak (PTKP).

Kedua, dana stimulus langsung berbentuk belanja langsung, penurunan harga solar, belanja infrastruktur, perluasan PNPM, dan lain-lain (Jawa Pos, 7/2/2009).

Manipulasi Stimulus

Fakta yang sulit ditutup-tutupi ialah program stimulus ekonomi sarat dengan kepentingan politik. Pertama, besaran stimulus ekonomi sengaja di "mark up" seolah itu merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah untuk melindungi kehidupan masyarakat.

Celakanya, pemerintah tidak bisa merinci untuk kepentingan apa saja dana stimulus itu dipakai. Dengan demikian, sulit dihindari kesan bahwa perubahan besaran dana stimulus ekonomi hanya merupakan cara pemerintah membungkus agenda politik di balik itu.

Demikian pula, defisit APBN yang dibuat sangat besar, Rp 132,1 triliun (2,5 persen dari PDB), dipromosikan sebagai konsekuensi pembengkakan stimulus ekonomi (selain akibat penurunan penerimaan negara).

Model penanganan krisis semacam itu jelas tidak bertanggung jawab karena memberikan harapan kosong kepada masyarakat. Pada akhir tahun nanti, hampir pasti pemerintah tidak akan berhasil merealisasikan defisit sebesar itu karena kapasitas yang terbatas.

Kedua, sebagian stimulus ekonomi sebesar itu sebenarnya merupakan manipulasi angka yang bisa diputarbalikkan. Dana Rp 43 triliun dalam bentuk penghematan pembayaran pajak tidak bisa disebut sebagai instrumen stimulus ekonomi untuk menghadapi krisis. Sebab, penggodokan penghematan pembayaran pajak tersebut dilakukan sejak lama sehingga krisis terjadi atau tidak program itu tetap berlangsung. Fakta tersebut yang tidak diketahui publik sehingga terkesan program itu didesain untuk menyikapi krisis ekonomi.

Ketiga, dana stimulus tidak langsung belum tentu memicu pergerakan kegiatan ekonomi karena para pembayar pajak merupakan orang dari golongan menengah/atas yang sudah berada pada level "saving-taker". Artinya, penghematan pajak belum tentu digunakan belanja atau investasi. Itu tentu berbeda dengan stimulus langsung ke masyarakat yang pasti akan digunakan belanja. Manipulasi itulah yang terjadi atas paket stimulus pemerintah.

Desain Stimulus Ekonomi

Secara umum terdapat dua jenis stimulus yang diperlukan secepatnya diberikan pemerintah kepada rakyat, walau di antara keduanya tidak bisa dibedakan secara ketat. Pertama, stimulus sosial. Program stimulus sosial itu diberikan tanpa syarat dan fokus kepada masyarakat yang paling dirugikan oleh krisis ekonomi.

Dalam hal ini, salah satu cluster masyarakat yang pasti diguncang krisis ekonomi adalah penganggur baru, khususnya yang sebelumnya menjadi buruh pabrik, sektor informal, atau usaha mikro/kecil.

Karakteristik penganggur itu jelas berbeda dengan orang-orang yang tumbang akibat permainan saham di pasar modal. Pada kaum penganggur tersebut, meski mereka terguncang kerugian finansial yang besar, dengan kekuataan dana tersisa dan tingkat keterampilan/pendidikan yang memadai situasinya tidak terlalu parah. Sebaliknya, penganggur dari kelompok bawah wajib mendapatkan santunan sosial sebagai pelampung sementara kehidupannya.

Kedua, stimulus ekonomi. Pemetaan stimulus ekonomi memerlukan tingkat presisi yang tinggi untuk mencapai dua hal sekaligus: targetnya fokus sekaligus memacu perekonomian. Untuk setiap fokus target yang hendak diberi stimulus, mesti diketahui kebutuhan dan prospek keberhasilannya sehingga besaran stimulus harus tepat jumlah.

Dari pemetaaan itulah, perlu dihindari model stimulus ekonomi yang sifatnya tidak langsung. Bagi sektor industri yang berorientasi ekspor, stimulus keringanan pajak (badan) mungkin bermanfaat, tapi belum tentu mendongkrak kegiatan ekonomi.

Karena itu, stimulus lebih baik diberikan dalam wujud bantuan kredit ekspor atau subsidi bahan baku sehingga terdapat pontensi peningkatan produksi. Sedangkan bagi usaha mikro/kecil dan sektor informal, disiapkan crash program yang secara sistematis berjalan selama krisis berlangsung, misalnya keterlibatan dalam proyek infrastruktur.

Selebihnya, tidak boleh dilupakan bahwa stimulus ekonomi yang hendak dilakukan harus memiliki makna investasi ke depan, bukan mengompensasi pengerutan ekonomi.

Di sinilah pentingnya menggandengkan stimulus ekonomi dengan prioritas perekonomian di masa depan. Salah satu prioritas yang strategis adalah harapan tercapainya ketahanan pangan sehingga sebagian stimulus ekonomi digunakan untuk melakukan investasi ke sektor pertanian, mulai perbaikan atau pembangunan irigasi, penyediaan bibit dan pupuk, hingga distribusi lahan kepada petani gurem.

Sebagian rencana tersebut sudah diagendakan pemerintah, misalnya perbaikan irigasi, tetapi belum menyentuh pada kepemilikan aset produktif, yakni tanah. Jika berani masuk sampai level itu, pemerintah telah memberikan bibit kemakmuran dan komitmen yang utuh kepada rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar