Kamis, 01 Desember 2011

Kapitalisme, Pemanasan Global dan CSR

Kapitalisme memang menjadi idiologi penggerak dan pengendali perekonomian global, mulai dari teori produksi sampai kepada ekonomi minyak, bahkan ekonomi persenjataan tak terlepas dari kapitalisme. Akibatnya, tanpa disadari kita telah berada dalam atmosfir globalisasi ekonomi. Dan globalisasi ekonomi tersebut juga dikendalikan oleh kapitalisme. Negara mana yang memiliki warna dan idiologi kapitalisme didunia ini? Tentu negara yang menguasai perekonomian global.

Sepuluh tahun terakhir ini opini dunia telah dipenuhi oleh pemanasan global, menjelang issue pemanasan global yang dulunya pernah dikenal dengan effect rumah kaca. Maksudnya sama. Indikasinya, suhu udara dari waktu ke waktu menunjukan peningkatan; iklim yang tidak menentu; jika musim hujan terjadi banjir yang luar biasa dan membinasakan, dan jika musim panas terjadi kekeringan yang luar biasa dan mendatangkan kebakaran dimana-mana; permukaan laut semakin tinggi sehingga banyak pulau yang tenggelam dan bibir pantai yang semakin menyempit–mengejar daratan; semakin menipisnya ketersediaan sumber air bersih dari tanah; berbagai macam munculnya jenis penyakit yang tidak teridentifikasi sebelumnya.

Semuanya itu menjadi momok bencana yang berhubungan langsung dengan manusia.Dari fenomena diatas, ahli ekonomi kewalahan meletakan dasar teori untuk memprediksi perekonomian masa akan datang. Banyak negara dalam beberapa tahun terakhir ini perlu menata ulang Anggaran Belanja negaranya, bahkan Indonesia untuk tahun 2008 perlu meninjau ulang RAPBN. Berkat globalisasi ekonomi, satu saja negara maju seperti Amerika Serikat mengalami masalah ekonomi akan berdampak pada negara lain. Semuanya itu tidak terlepas dari dampak kapitalisme dengan institusi-institusi ekonomi global.

Sekarang sudah mulai menyadari, para ahli ekonomi dan pelaku ekonomi bahkan pengamatlebih mengarahkan fokus diskusi kepada bagaimana mengelola sumberdaya bernilai ekonomi berdasarkan etika, moral, dan tanggungjawab sosial. Yang selama ini diabaikan oleh para kapitalis. Permasalahannya, bagaimana mengarahkan idiologi kapitalisme ini kearah moralitas dan etika.

Apakah dua mata angin yang berlawanan itu akan ada titik temunya, ADA. Tentu dengan tanggungjawab sosial atau ”social responsisbility” perusahaan/corporate. Dengan SR ini diharapkan organisasi bisnis dapat meminimalisir eksternalitas negatif terhadap lingkungan dimana organisasi itu berada.

Secara pilosofis, tujuan dari Corporate Social Responsibility untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Tanggung jawab sosial perusahaan adalah komitmen bisnis untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi, bekerjasama dengan karyawan, keluarga-keluarga mereka, masyarakat dan masyarakat lokal untuk meningkatkan mutu hidup mereka (WBCSD, 2000). CSR mengacu pada prakarsa secara sukarela yang diambil oleh pelaku bisnis untuk bertindak secara bertanggung jawab dengan semua stakeholders.

Dalam hal ini kita perlu menguraikan tiga aspek CSR yang diantaranya voluntarisme, stakeholder manajemen, dan networking. Gagasan yang pertama adalah sebagai dorongan sebagai ganti hukuman, dengan kata lain voluntarism. Argumentasinya bahwa perusahaan dapat menunjukkan tanggung jawab sosialnya dengan mengeluarkan suatu cara yang lebih produktif dan efisien – melakukannya dengan sukarela (Bryane, 2003). Konsep yang kedua bersandar pada stakeholder manajemen.

Dalam hal ini perusahaan tidak lagi pertanggungjawabannya hanya untuk mereka pemegang saham, melainkan dipengaruhi oleh berbagai operasi perusahaan yang menjadi pertimbangan dengan seksama yang meliputi pelanggan, karyawan, para penyalur, mitra, dan lingkungan lokal. Aspek penting lain dari prakarsa CSR adalah efek jaringan yang diakibatkan oleh interaksi yang terjadi melalui prakarsa ini dalam bentuk komunikasi perusahaan pada publik. Dalam implementasinya perusahaan menyebarkan informasi melalui halaman web, laporan berkala, dokumen ilmiah, dan bestpractice studi, seperti hal lainnya dimana perusahaan memenuhi undangan konferensi dan seminar. Saluran komunikasi ini dapat menyokong corporate social responsibility.

Di dalam teori ekonomi, CSR dilihat sebagai alat strategis corporate untuk mencapai sasaran hasil akhir, dan juga menciptakan kekayaan dalam jangka panjang, di mana perusahaan bertanggung jawab ke pemegang saham dan stakeholder lainnya. Perusahaan akan menerapkan CSR sepanjang mereka dapat bermanfaat secara ekonomis dari pelaksanaan perilaku yang bertanggung jawab tersebut, seperti menciptakan suatu merek yang akan meningkatkan pemasaran (Lantos, 1999). Sepertinya, motivasi utamanya memang bagaimana perusahaan dapat meningkatkan laba dalam jangka panjang.

Dalam operasionalisasinya untuk menerapkan CSR ini tidak akan terlepas dari teknologi, seperti teknologi yang berwawasan lingkungan adalah suatu kasus sempurna untuk menggambarkan dan pemahaman CSR. Isu ini pada dasarnya didasarkan pada pengembangan yang bisa mendukung dan pendekatan secara umum. Pada sisi lain, dapat juga diklaim bahwa program CSR dan adopsi teknologi dapat juga secara ekonomis mendatangkan lingkungan sehat dan lingkungan ramah, apabila dilakukan dengan cara yang benar.

Komisi pengawas dunia pada lingkungan melaporkan (1987) 'Masa depan kita' adalah suatu usul yang berhubungan dengan metoda untuk pertumbuhan ekonomi dengan mengambil isu lingkungan ke dalam pertimbangan kombinasi ekonomi dengan etika. Lihat dari suatu perspektif ekonomi, yang sedang kekuatan lingkungan teliti melibatkan investasi di dalam teknologi, metoda, perkakas, dan bahan baku yang lebih tinggi dibanding kasus untuk lingkungan acuh tak acuh/tak memihak itu.

Tanggungjawab social perusahaan kini jamak diakui bahwa kebijakan-kebijakan etis dapat menarik para pelanggan, dan kebijakan nonetis yang menyebabkan retaknya public relations membuat pelanggan lari. Kebijakan-kebijakan CSR yang diterapkan perusahaan-perusahaan dapat dikelom-pokan kedalam tiga level yang berbeda.

a.Level pertama = level paling dangkal, adalah CSR semata-mata sebagai ’aksi’ – sesuatu yang kelihatan bagus bagi tujuan-tujuan public relations. Pada umumnya CRM yang diterapkan oleh beberapa perusahaan masuk kedalam level ini. Apapun kegiatan dan program yang dilakukan perusahaan dengan pendekatan public realtions yang tujuannya adalah laba dan laba, perusahaan tidak akan memberikan sesuatu kalau tidak ada laba yang diperolehnya terutama laba dalam jangka pendek. Dapat dikatakan bahwa profit orientedlah yang menjadi tujuan perusahaan dalam melakukan pendekatan dengan publik.

Level pertama ini tidak akan ada kemajuan selagi pelanggannya tidak memiliki kecerdasan dan juga tidak memiliki bargaining. Disamping itu perusahaannya juga monopoli dan atau perusahaan membentuk sindikasi. Contohnya, betapa rendahnya bargaining pelanggan telepon seluler di Indonesia, dan betapa tingginya biaya komunikasi di Indonesia. Kalau ada promosi biaya komuniasi yang rendah itu hanya akal-akalan saja. Berkat jor-joran promosi biaya rendah yang menjadi korban adalah pelanggan pasca bayar dibandingkan pelanggan prabayar – yang setiap waktu dapat menukar kartu prabayarnya seperti membeli kacang goreng.

b.Level kedua = level yang agak dalam, adalah menerapkan CSR sebagai sebuah bentuk strategi defensive. Kebaikan yang dilakukan perusahaan disini tidak berangkat dari visi-batin perusahaan. Dalam penelitian terakhir yang dilakukan oleh PW Copers mengenai kebijakan CSR, ditemukan bahwa mayoritas perusahaan yang menjalankan CSR melakukannya untuk menghindari konsekuensi negatif dari citra yang buruk. Perusahaan melakukan perbaikan kondisi kerja dan kebijakan lingkungan sangat sering didorong oleh reaksi defensif ini. Ini dilakukan sama saja dengan strategi ”Aku melindungi diriku dengan menolongmu”.

Lagi pula, kebaikan yang dilakukan untuk tujuan defensif semacam itu bisa menimbulkan ”serangan balik” karena akan menyulut sinisme pelanggan. c.Level ketiga = level terdalam, bermula dari keinginan murni untuk melakukan kebijakan yang bersemayam tepat di inti visi dasar perusahaan. Seperti program akbar Coca Cola untuk mendirikan klinik-klinik kesehatan disepanjang pedesaan Cina daratan. Seperti perusahaan Coffe Star Burg yang meningkatkan kualitas hidup para petani kopi–industri hulunya.

Perusahaan-perusahaan yang bergerak pada level ini melakukannya sebagai bagian dari visi dasar mereka, yaitu bahwa salah satu alasan yang baik untuk mengumpulkan kekayaan adalah amal-amal kebaikan yang bisa dilakukan dengan menggunakan kekayaaan yang terkumpul.

Sekarang perlu kita renungkan, posisi perusahaan kita dimana? Apakah sudah sampai pada level 3 atau masih tetap mempertahankan diri pada level 1. Menurut hemat penulis, social responsibility (SR) bukan hanya kewajiban moral perusahaan/organisasi bisnis, namun hendaknya berlaku juga bagi institusi publik dan organisasi nir laba lainnya, partai politik dan perguruan tinggi di negara tercinta ini.

Seandainya semua organisasi bisnis dan publik serta organisasi nir laba lainnya menerapkan SR level 2 dan tiga diatas akan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan dengan sendirinya akan dapat mengentaskan kemiskinan dipermukaan bumi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar