Kamis, 01 Desember 2011

Derita Petani dan Korupsi di Sektor Pangan

Sejak lima atau empat abad silam, bangsa Asia seperti Cina, India, Persia dan Eropa telah melakukan perdagangan dengan penduduk pribumi diseluruh pelosok Nusantara. Bangsa ini cukup dikenal, karena subur dan kaya sumber daya alam. Terutama hasil bumi dan pertaniannya, seperti kopra, cendana, gaharu dan rempah-rempahan. Dahulunya Nusantara ini disebut negeri, “gemah ripah loh jenawi”. Bahkan dalam dendang tahun 60-an disebut “negeri kolam susu”. Sepertinya sudah ditakdirkan negeri ini adalah sepotong sorga yang diturunkan Tuhan dari langit.

Banyak kisah dan sebutan-sebutan tentang negeri ini yang indah dan elok. Namun sebutan ini tidak selalu seindah namanya, malah justru sering kali membawa persoalan dan petaka besar bagi kehidupan rakyatnya. Hampir sepanjang masa, rakyatnya hidup miskin. Tiga setengah abad lamanya dijajah Belanda dan belakangan petaninya terjajah pula oleh bangsanya sendiri. Apapun sebutan dan kisahnya, karena disebabkan kebodohan, “kufur nikmat”, telah “menina-bobokkan” bangsa ini dalam waktu yang lama. Bangsa ini tertidur pulas dihamparan “permadani hijau” bertabur jamrud, mutu-manikam, terhipnotis hembusan angin sorga yang terus meniupi katulistiwa dan hanyut jauh dalam dendang “rayuan pulau kelapa”.

Ironisnya semua itu hanyalah mimpi semata. Nyatanya nasib dan kehidupan para petani dinegeri ini tak seindah mimpi yang datang disetiap tidur mereka. Sebab realitanya, ketika mereka terbangun dan menghadapi kenyataan hidup mereka yang sebenarnya, justru kehidupan mereka sangat memprihatinkan dan menggenaskan. Sungguh memuakkan terlahir sebagai petani, karena statusnya sangat dipandang rendahan dan sebelah mata.

Menjadi petani berarti siap untuk menderita. Bahkan dalam kondisi yang sangat tertekan sekalipun, mereka petani masih dihadapkan dengan harga pupuk yang mahal, gagal panen pengaruh iklim yang tak kompromis akibat pemanasan global, bencana alam lainnya, ancaman hama, ditambah segudang regulasi dan kebijakan pemerintah yang tidak pernah memihak kepada para petani.

Banyak sawah dipelosok-pelosok negeri dibiarkan terlantar oleh yang empunya, karena ongkos produksi bertani padi lebih tinggi dari hasil penjualan pasca panen. Harga beras yang murah membuat petani setengah hati untuk menggarap sawah-sawah mereka. Kalaupun sawah dikerjakan, bukan berarti mereka hendak mencari untung, tapi cuma sekedar mengisi hari-hari dan mencoba menghalau kegundahan yang menyelimuti mereka. Kebijakan negara mengimpor beras untuk menekan harga gabah petani sungguh memukul mental dan kinerja para petani.

Negara ini lebih suka mensubsidi negara asal pengimpor, ketimbang mensubsidi petani sendiri. Pada hal pembelian beras ke Thailand dan Vietnam dengan harga yang mahal dilakukan dengan mekanisme impor berlabel subsidi. Ironisnya impor tersebut semuanya memakai uang negara dengan berkedok subsidi untuk rakyat, JPS, raskin, operasi pasar dan pasar murah. Praktek subsidi dan regulasi terhadap impor beras dilakukan dengan alasan agar harga beras murah dan terjangkau oleh rakyat.


Diperlihatkanlah seolah-olah negara peduli dengan nasib rakyat miskin, dengan segera memenuhi kebutuhan pangan mereka. Kebohongan pun terus berlanjut. Dilegitimasi dengan daya beli rakyat yang rendah, maka untuk itu negara bealasan turun tangan memberi subsidi. Tetapi sebenarnya dibalik semua itu, kebijakan impor berlabel subsidi telah menimbulkan kerugian yang sangat besar, karena otomatis mematikan jiwa dan semangat bertani para petani – yang menjadi penghuni mayoritas negeri ini. Bahkan diluar itu sudah menjadi rahasia umum bahwa praktek impor beras sangat sarat muatan korupsi.

Faktanya sampai hari ini, banyak kasus korupsi hebat yang terungkap di Bulog maupun diberbagai lembaga lainnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan pokok pangan rakyat. Pada hal sebenarnya, bila harga beras dan produk pertanian lainnya katakanlah menguntungkan, maka rakyat Indonesia sebenarnya bisa lebih sejahtera, karena bisa mengekspor produk pertaniannya dengan harga yang bersaing.

Sebab dengan harga yang baik, logikanya petani kembali bergairah mengelola lahan mereka sendiri. Bahkan bila semua pabrikan di Kerawang dan Banten kembali beralih fungsi seperti semula, maka kawasan ini bisa kembali menjadi lumbung pangan nasional dan kembali berswasembada pangan.

Dengan alasan demikian, patut dipertanyakan, kok bisa dinegeri ini “petani kelaparan dilumbung padi”? Anehnya lagi, negara yang dikenal agraris, tanahnya subur, justru kerja pemerintahnya hanya mengimpor beras, jagung, gula dan kacang kedele. Mana kala semuanya itu bisa ditanam di Indonesia. Bukankah seharusnya sebagai negara agraris, Indonesia patut konsisten mengekspor produk pertanian saja, karena Indonesia mempunyai keunggulan alamiah (comparative adventage) tak terbandingkan dibelahan dunia manapun.

Lagi pula, tugas menteri perdagangan Indonesia, seharusnya memaksimalkan ekspor produk pertanian tropis, karena secara komparatif Indonesia unggul dibidang ini. Industri tertiar, seperti elektronik dan kendaraan bermotor yang menjadi andalan industri bangsa lain, ternyata tidak cocok diterapkan di Indonesia, karena ternyata sedikit pun tidak mampu merubah peningkatan tarap hidup rakyat Indonesia. Barang-barang tertier cukuplah diimpor, sebab selama inipun kehidupan industri Indonesia, hanyalah industri “tukang jahit”.

Bila dicermati secara ekonomis, upaya investor membangun pabrik di Indonesia, hanyalah karena upah buruh yang murah dan kepentingan strategis mereka, agar lebih dekat dengan pangsa pasarnya.

Korupsi di Lumbung Pangan

Sungguh malang nasip petani di negeri ini. Sudahlah dirugikan, karena mengeluarkan ongkos produksi yang mahal, mereka pun tidak bisa menjual hasil pertaniannya sedikit diatas ongkos produksi. Bahkan ironisnya, bermacam subsidi yang diberikan negara, justru dinikmati oleh negara asal pengimpor yang tentunya banyak mengambil untung. Belum lagi praktek koruptif yang dilakukan oleh aparatus Bulog bersama rekananannya, ketika membeli beras maupun disaat mendistribusikan beras impor kepasaran dalam negeri.

Bulog bisa saja membeli beras ke negara tetangga (tercatat dikuitansi) seharga Rp.5.000,- perkilogram dengan memakai dana APBN, walaupun nyatanya yang dibayarkan kepada importir hanya Rp.4.500,- perkilogram. Korupsinya sekitar Rp.500,- perkilogram. Lalu beras impor tersebut kemudian didistribusikan ke rekanan dengan harga yang sudah disubsidi oleh negara, katakanlah dijual Rp.3.000,- perkilogram, maka Bulog sekali lagi menerima komisi haram Rp.200,- perkilogram secara diam-diam dari distributor dan rekanan.

Nanti disaat dilempar dipasaran, harga beras impor itupun dijual dengan harga berpluktuasi sekitar Rp.3.500,- perkilogram. Berdalih praktek stabilisasi harga ala Bulog diatas, maka otomatis menyebabkan harga gabah petani dipasaran menjadi anjlok. Pada hal supaya untung, seharusnya beras petani terjual Rp.5.000,- perkilogram, sebagaimana juga Bulog membeli beras impor kenegara tetangga. Akan tapi, karena praktek impor beras ini jugalah, maka akibatnya harga beras petani terpaksa menyesuaikan dengan harga pasar menjadi sekitar Rp.3..500,- perkilogram.

Dari perkiraan diatas, dapat dihitung korupsi yang dilakukan oleh koruptor dilumbung pangan. Asumsinya adalah bila setahun Bulog mengimpor 200.000 ton beras, maka uang rakyat yang dikorupsinya adalah sekitar 140.000.000.000,- pertahun atau sebelas milyar perbulan. Bukankah itu sebuah angka yang sangat fantastis?

Memang aneh, di negeri yang terus nestapa, karena korupsi dan dililit utang. Buruh dan abdi negara, seperti PNS, TNI/POLRI digaji murah, hingga mereka pun tak mampu beli beras dengan harga yang menguntungkan petani. Hanya demi melindungi 20% buruh murah dan abdi negara, maka berdalih subsidi untuk rakyat, pemerintah mengorbankan nasib, cita-cita dan bahkan segala-galanya kehidupan masyarakat tani yang mayoritas 80% penghuni tetap negara ini. Bahkan bila dicermati lebih lanjut, maka uang subsidi dan pembelian beras impor yang telah dikeluarkan negara itu juga berasal dari pungutan uang rakyat.

Sudah sepatutnya dikelola secara adil dan merata, dengan mendahulukan asas kepentingan dan kemaslahatan orang banyak. Dengan demikian, takkan ada petani yang mati dilumbung padi. Takkan ada tikus yang menguasai lumbung padi, yang bisanya (racunnya) selalu mematikan kehidupan petani.

Harapan kita kedepan, hendaknya pertanian menjadi andalan utama dan fokus tetap pemerintah. Buanglah mimpi menjadi negara industri pabrikan, kecuali upaya mendesak yang sesegeranya dilakukan pemerintah untuk meregulasi ulang kebijakan sektor pertanian dan memodernisasi industri pertanian.

Karena pertanian adalah sudah merupakan karunia besar dan takdir Tuhan untuk kemakmuran negara ini. Jangan sampai bangsa ini berulang kali terpuruk dan jatuh kelobang yang sama. Selama ini petani dan buruh negeri ini hanya dimanfaatkan oleh kepentingan kapitalisme global, karena pasarnya yang empuk, murah didikte asing dan terkenal dengan upah buruh yang murah.

Akibatnya, dengan upah dan gaji yang kecil, maka implikasinya adalah ketidakmampuan buruh, pegawai negeri, termasuk buruh tani untuk membeli beras dengan harga yang memadai. Dengan demikian diharapkan kedepan, harga beras kita mampu bersaing dan bisa memberikan keuntungan bagi petani pangan, karena dengan harga produk pertanian yang baik, keuntungan bisa diraih oleh para petani. Konkritnya, regulasi dan kebijakan pertanian hendaknya bisa memberikan nilai tambah dan keuntungan yang cukup bagi para petani, tentunya diluar ongkos produksi yang telah mereka keluarkan.

Mudah-mudahan dengan bertahap, kita bisa kembali mengejar ketertinggalan dengan Malaysia, Thailand dan Vietnam yang petaninya lebih sejahtera, sebab mereka dari dulu konsisten sebagai negara agraris.. Mereka justru tidak perlu mengejar target menjadi negara industri pabrikan. Cukup saja menjadi negara agraris dan tetap fokus memodernisasi industri pertaniannya yang langsung menopang kehidupan petani-petani mereka.

Itulah sekelumit kisah nestapa petani dinegeri ini. Sepanjang masa kehidupan mereka dikeroyok dari berbagai sisi hingga babak-belur, sampai mereka pun susah untuk bangkit kembali. Namun demikian, petani-petani pejuang itu tetap saja memimpikan datangnya sang “ratu adil” dan berharap disuatu saat nanti, nasib mereka bisa menjadi lebih baik. Sekalipun nyatanya hari ini keberpihakan negara yang ditunggu itu tak kunjung datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar